Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Secara pengertian umum pada Pasal 5 ayat (2) sudah baik yakni dengan menempatkan penerjemahan kekerasan seksual itu sebagai tindakan...
Se mentara dua paham tersebut begitu tidak relevan dengan jiwa bangsa (volk geist) Indonesia, yakni Pancasila, khususnya Sila Kesatu dan Sila Kedua.
Pada Sila Kesatu, ditempatkan bahwa bangsa Indonesia harus mampu untuk meng-hormati hubungan yang harmonis dengan Pencipta dan ciptaan-Nya.
Oleh karena itu, ma nusia Indonesia haruslah tahu diri (berefleksi) dalam setiap mengambil keputusan ataupun sikap tindak untuk tidak merusak hukum keharmonisan antara Pencipta de ngan segala ciptaan-Nya.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Begitupun dalam pembuatan dan penerapan hukum, pihak-pi hak yang terlibat hendaknya harus berefleksi di benaknya bahwa ”saya ini ber-Tu han”.
Dengan senantiasa tidak melupakan Tuhan, maka begitu berpeluang untuk men jumpai nilai keadilan sebagai tujuan dari hukum.
Dengan demikian jika menempatkan frasa “tanpa persetujuan korban” adalah bukan merupakan kesalahan pada pengaturan tersebut, maka artinya tidak menghormati Hukum Tuhan.
Selanjutnya jika dihubungkan dengan Sila Kedua yang secara filosofis mengajarkan bahwa manusia sebagai makhluk berakal harus mampu menghadirkan nuansa kema nu-siaan yang adil dan kemanusiaan yang beradab.
Kemanusiaan yang adil terletak pa da titik di mana hak dan kewajiban orang lain dan lingkungan tidak terganggu.
Se men tara ke manusiaan yang beradab terletak pada pemahaman atas kesadaran untuk membe ri kan kemanfaatan yang sebesar-besarnya khususnya bagi mereka yang lemah, termasuk bagi korban kekerasan seksual, yakni perempuan.
Jangan sampai oleh karena terdapat pengaturan bahwa jika terdapat persetujuan, ter-kesan posisi perempuan berada pada posisi yang disalahkan.
Bertolak dari filosofi itu, jika frasa “tanpa persetujuan korban” pada Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, m ter kecuali diatur pada Pasal 5 ayat (3) Permendikbudristek ini adalah boleh (mogen) jika ter dapat persetujuan di antara mahasiswa, maka perumusan norma hukum seperti itu adalah tidak sehat untuk memanusiakan manusia di kampus.

Update 30 November 2021. (https://covid19.go.id/)
Selain itu, jika suka sama su ka adalah boleh, maka keadaban di kampus juga akan terganggu.
Setelah diuji dengan batu uji Ilmu Tentang Norma dan Filsafat Hukum Pancasila khu-susnya Sila Kesatu dan Sila Kedua, maka dapat disimpulkan bahwa pengecualian yang tersembunyi di balik frasa “tanpa persetujuan korban” pada Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, m Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tersebut harus dihapus.
Lantas, jika terdapat dalih yang menyatakan bahwa karena pada judul Per men dik bud-ristek ini menggunakan kata “Kekerasan”, yang mana arti kekerasan ada lah jika “tanpa persetujuan korban”.
Maka sebaiknya kata “Kekerasan” pada judul peraturan di ganti dengan kata “Perilaku”, agar supaya tidak perlu menempatkan frasa “tanpa per setujuan korban” dalam Pasal 5 ayat (2) Permendikbudristek ini.