Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Secara pengertian umum pada Pasal 5 ayat (2) sudah baik yakni dengan menempatkan penerjemahan kekerasan seksual itu sebagai tindakan...
'Tanpa Persetujuan' dalam Permendikbudristek No. 30/ 2021
(Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Perguruan Tinggi)
Oleh : Dr. Muhamad Erwin, S.H., M.Hum.
Dosen Politeknik Negeri Sriwijaya, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, dan STIHPADA.
SRIPOKU.COM -- Jika memang dibaca secara seksama Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dapat dipahami bahwa keberadaan maksud diadakannya peraturan menteri ini ataupun pe rihal peran satuan tugas di dalamnya adalah mengandung nilai kebaikan.
Namun, jika fokus pada Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, m Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tersebut, maka di situ terdapat perumusan norma hukum yang aneh (anomali). Ber ikut ini keanehan tersebut akan dibedah melalui kajian Ilmu Tentang Norma dalam Il mu Hukum dan juga melalui kajian Filsafat Hukum Pancasila.
Secara pengertian umum pada Pasal 5 ayat (2) itu sudah baik yakni dengan menempatkan penerjemahan kekerasan seksual itu sebagai tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Namun ke anehan terdapat pada pengertian khusus dalam rincian hurufnya menempatkan makna pengecualian dengan menampilkan frasa “tanpa persetujuan korban” pada ekor kali mat nya.
Berikut keganjilan pada anak Pasal 5 ayat (2) tersebut yang terdapat pada:
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau meng gosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
m. membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Kemudian disusul dengan keterangan yang terdapat pada Pasal 5 ayat (3) yang meng-atur bahwa persetujuan korban sebagaimana dimaksud dianggap tidak sah dalam hal korban:
a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-un-dangan;
b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menya lah gu nakan kedudukannya;
c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f. mengalami kelumpuhan sementara;
g. mengalami kondisi terguncang.
Begitu mudah dipahami bahwa penempatan frasa “tanpa persetujuan korban” selain yang dikecualikan Pasal 5 ayat (3) tersebut adalah dapat “disahkan”.
Jika dipandang dari sudut pandang Ilmu Tentang Norma dalam Ilmu Hukum, maka artinya penetapan ter sebut mengandung adanya kebolehan (mogen) yang bersifat mengatur atau me nam bahkan (fakultatif) dan bernuansakan Hukum Privat (Hukum Perdata).
Maksudnya sikap tindak itu menjadi “boleh” jika terdapat persetujuan atau kesepakatan kedua be lah pihak.
Pada tataran perumusan norma hukum, pengaturan seperti ini masuk kategori peru-musan norma hukum secara hipotetis, karena telah menunjukkan adanya hubungan ber-syarat di antara kondisi dengan konsekuensi.
Sebagai contoh, secara kondisi mem buka pakaian korban konsekuensinya tidak boleh dan akan menimbulkan sanksi, na mun secara bersyarat dapat menjadi boleh jika terdapat persetujuan.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:
