Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Secara pengertian umum pada Pasal 5 ayat (2) sudah baik yakni dengan menempatkan penerjemahan kekerasan seksual itu sebagai tindakan...

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
Dr. Muhamad Erwin, S.H., M.Hum. Dosen Politeknik Negeri Sriwijaya, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, dan STIHPADA. 

Dalam Ilmu Tentang Norma dikenal adanya penyimpangan terhadap norma hukum tanpa adanya dasar yang sah yang disebut penyelewengan.

Selain itu, dikenal pula a danya penyimpangan norma hukum yang tidak dikenakan sanksi yang disebut penge cu alian (dispensasi).

Pengecualian ini, secara nyata tetap merupakan suatu sikap tindak yang tercela, tapi secara hukum tidak dapat dihukum, disebabkan terpenuhinya dasar hu kuman terhadap sikap tindak tersebut.

Dengan demikian, di dalam pengecualian ter dapat adanya dasar yang sah untuk tidak menghukum si pelaku.

Begitupun yang tam pak pada maksud untuk memasukkan kategori “pengecualian” pada Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, m tersebut.

Namun jangan dilupakan bahwa pada Ilmu Tentang Norma ukuran pengecualian tersebut ha ruslah serelevan dan seobjektif mungkin guna mengurangi terjadinya ketidakpastian hukum dan keadilan.

Selain itu, tidak bisa pula terburu-buru menyatakan bahwa penempatan frasa “tanpa persetujuan korban” selain yang dikecualikan pada Pasal 5 ayat (3) tersebut adalah da-pat “disahkan”.

Dikatakan sedemikian karena di atas Ilmu Hukum masih terdapat batu uji Filsafat Hukum.

Dari situ timbul pertanyaan, apakah memang benar pengaturan tersebut sebagai norma konkrit dapat dikategorikan sebagai pengecualian atas dasar yang sah dan relevan serta objektif bagi negara hukum Indonesia yang cita hukum (re chts idee)-nya berasal dari nilai-nilai lima sila Pancasila sebagai norma dasar?

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

Dalam ranah Filsafat Hukum, “persetujuan” itu hadir sebagai suatu bentuk kehendak be bas dari para pihak yang kemudian bersedia untuk dituangkan ke dalam kehendak terikat pada suatu kesepakatan.

Sementara jika “tanpa persetujuan korban” pada Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, m yang dari pembalikan dalam logika hukum artinya jika terdapat “persetujuan”, maka artinya menitiberatkan posisinya kepada adanya suatu ke sepakatan.

Jika terdapat kesepakatan, maka sikap tindak itu adalah boleh, terlepas da ri apakah sikap tindak itu benar atau salah maupun baik atau buruk.

Jika sudah de mikian, maka jelas pada perumusan norma hukum yang sedemikian be gitu dilekati de ngan nuansa jiwa hukum yang menjunjung tinggi kebebasan (libe ralisme).

Dengan nuansa liberalisme dalam hukum, maka akan secara otomatis dapat meng-hadirkan co rak hukum yang begitu individualisme (pengutamaan kepentingan in-dividu).

Halaman
123
Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved