Berita Palembang

Mengenal Tradisi Ngidang - Ngobeng di Palembang, Budaya Muliakan Tamu yang Datang

Menyajikan makanan merupakan budaya melayu yang ada di Palembang, menjadi sesuatu yang sangat dianjurkan sesuai dengan ajaran Islam.

Penulis: maya citra rosa | Editor: RM. Resha A.U
SRIPOKU.COM/MAYA CITRA ROSA
Duta Budaya Fakultas Adab dan Humaniora (Fahum) UIN Raden Fatah Palembang 2021 menikmati tradisi Ngidang-Ngobeng dengan Sultan SMB IV, Rabu (9/6/2021). 

SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Berikut ini adalah tradisi Palembang tentang cara memuliakan tamu yang datang, yakni Ngidang - Ngobeng.

Kota Palembang, Provinsi Sumsel memiliki kekayaan makanan yang sangat beraneka ragam.

Hal ini menunjukkan dalam budaya melayu, menghormati dan memuliakan tamu.

Menyajikan makanan merupakan budaya melayu yang ada di Palembang, menjadi sesuatu yang sangat dianjurkan sesuai dengan ajaran Islam.

Baca juga: Tradisi Tak Biasa di Suku Wodaabe, Saat Pria Dibolehkan Meminang Istri Orang Lain tanpa Harus Izin

Baca juga: Niduke Tujuh Jando di Rumah Baru, Salah Satu Tradisi Unik Warga Palembang yang Hampir Terlupakan

Tradisi menyajikan makanan bersama menjadi kebiasaan dalam menyambut tamu serta menjalin silaturrahmi.

Tradisi ini sering dilakukan saat mengadakan sedekah atau acara adat yang ada di Palembang.

Budayawan dan Sejarahwan Palembang, Kemas Ari Panji menjelaskan bahwa ada satu budaya di Palembang diberi nama Ngidang Ngobeng.

Ngidang merupakan menyajikan makanan di atas kain, sedangkan ngobeng adalah petugas khusus untuk membantu tamu.

Seperti membawakan makanan para tamu, menolong membawa ceret air dengan wadah sisa air bilasan setelah tamu selesai mencuci tangan. 

Secara teknis, ngobeng dilakukan dengan mengoper hidangan ke tempat makan, yang bertujuan agar makanan segera tiba dan meringankan orang yang membawanya.

"Biasanya ada orang yang ditunjuk bertugas membawa baskom atau ceret berisi air untuk tamu mencuci tangan," ujarnya, Minggu (13/6/2021).

Baca juga: Mengenal Tradisi Niduke Tujuh Jando di Rumah Baru yang Dulu Sering Dilakukan Masyarakat Palembang

Baca juga: Setiap Lebaran, Pemain Sekaligus Asisten Pelatih Sriwijaya FC Ini Ngaku tak Punya Tradisi Liburan

Hal ini karena dalam ngidang, tamu tidak menggunakan sendok untuk makan, tetapi para tamu makan dengan menggunakan tangan.

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ngidang berasal dari kata hidang atau menghidangkan yang berarti menyuguhkan makanan, minuman dan sebagainya kepada orang lain.

Menurutnya, Ngidang merupakan tata cara penyajian makanan saat ada kendurian atau sedekahan dan pernikahan, yang dilakukan dengan cara lesehan dengan membagi setiap hidangan atau kelompok yang terdiri atas 8 orang. 

"Tradisi ngidang merupakan cara makan adat Palembang yang saat ini sudah mulai jarang ditemui," katanya. 

Padahal makan dengan cara ngidang sudah ada sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam.

Selain itu sebelum makan, bersama-sama harus mengidangkan atau menyajikan makanan terlebih dahulu, hal ini sebagai wujud gotong royong yang harus dilestarikan. 

"Sebelum makan harus menyediakan makanan secara gotong royong, yang terdapat nilai positif dan bisa menjalin komunikasi tanpa memperhatikan status sosial, semuanya rata duduk bersila," tuturnya.

Alat yang biasanya digunakan pada saat makan di lesehan ini adalah piring, mangkuk kecil untuk cuci tangan, gelas minum, piring-piring penyajian untuk lauk pauk.

Baca juga: Sambal Buatan Ibu, Bikin Pemain Sriwijaya FC Ini Pulang ke Kampung Halaman: Udah Tradisi

Baca juga: MENGINGAT Mati, Ziarah Kubur, Tradisi Jelang Ramadhan: Ust Abdul Somad Punya Pandangan Ini

Hidangan digelar pada selembar kain dengan tempat nasi berupa nampan atau dulang ditempatkan pada bagian tengah.

Dulang atau talam adalah nampan berbentuk lingkaran yang biasanya berbibir pada tepinya, Dulang dapat dibuat dari kayu atau kuningan. 

Kemas juga menjelaskan bahwa nasi yang disajikan berupa nasi minyak atau nasi putih, bisa juga kedua-duanya dikombinasikan. 

Nasi minyak atau nasi samin adalah nasi yang dimasak dengan minyak samin dan rempah-rempah khas Nusantara dan Timur Tengah.

Setelah nasi diletakkan ditengah-tengah, selanjutnya petugas akan menyusun iwak atau lauk. 

Lauk disiapkan dalam piring-piring kecil dan ditata mengelilingi dulang nasi tersebut. Lauk pauk disusun berhadapan agar para tamu mudah mengambilnya.

Jumlah lauk didalam piring sudah dihitung dan disesuaikan dengan para tamu yang akan menyantapnya. 

"Lauk yang dihidangkan berupa Ayam opor, Malbi, Pentol (Pentol salah satu masakan khas Palembang yang terbuat dari daging ikan yang dicampur dengan parutan wortel, kelapa dan bumbu lainnya, kemudian di tusuk dan digoreng) Lalu ada Sayur, biasanya sayur yang dihidangkan berupa sayur buncis," ujarnya.

Baca juga: Banyak yang Minta Bersihkan Rumput, Bocah 10 Tahun Raup Rezeki dari Tradisi Ziarah di Palembang

Baca juga: Mengenal Tradisi Nanggok di Lahat, Bupati Cik Ujang Ingin Tradisi Itu Jadi Destinasi Wisata

Setelah nasi dan lauk telah terhidang, selanjutnya disajikan “pulur” yang terdiri dari buah-buahan, seperti nanas, pisang, semangka, acar, kemplang, Srikaya, kue atau makanan manis lainnya.

 “Setelah semuanya tersusun, maka selanjutnya peletakan piring sebanyak delapan buah yang di letakkan di sudut. Orang yang paling dekat dengan piring yang akan mengambilkan piring dan mengoper kepada tamu yang lainnya,” katanya.

Sebelum makan petugas akan berkeliling membawa ceret air dan wadah sisa air bilasan untuk para tamu mencuci tangan sebelum makan. 

Dan air minum diletakkan ditengah-tengah, jika dulu menggunakan cangkir atau gelas maka sekarang agar lebih praktis menggunakan air mineral gelas.

Dalam budaya ngidang ada syarat penataan makanan yang dilakukan secara silang, yakni lauk harus berdampingan dengan pulur. 

Hal tersebut dilakukan agar tata krama para tamu saat bersantap terjaga.

Dengan syarat itu, artinya tamu tidak perlu menggerakkan tangan terlalu jauh untuk menjangkau piring lauk.

Ini juga menurutnya sesuai syariat Islam yang mengajarkan tamu untuk menjaga perilakunya.

Kegiatan ini juga disebut dengan besaji yaitu menghidangkan makanan dan beringkes atau merapikan semua kebutuhan. 

Dengan cara seperti ini juga akan menciptakan suasana yang penuh dengan keakraban dan kekeluargaan.

Baca juga: Mengenal Tradisi Nanggok di Kabupaten Lahat, Lebih Dari Sekedar Mencari Ikan

Baca juga: Apa Itu Cheng Beng? Tradisi dan Bakti Keturunan Tionghoa Kepada Leluhur

Sebanyak delapan orang duduk bersila dengan membentuk lingkaran saling berhadapan. 

Mereka siap menyantap nasi dengan beragam lauk pauknya yang berada di tengah-tengah dimana duduk antara laki-laki dan perempuan dipisah tidak boleh bergabung.

Menurutnya inilai nilai positif dari tradisi ngidang yang dapat menjalin komunikasi tanpa memperhatikan status sosial dan semuanya rata duduk bersila.

“Terakhir selesai makan, ada peserta makan yang membuka kunci, sambil mengucapkan Assalamualaikum dan terima kasih, sambil keluar lebih dahulu, biasanya yang membuka kunci ini posisinya hidangannya dekat pintu,” katanya.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved