Menggagas Hadirnya Agile Goverment Di Daerah
Dewasa ini Indonesia sedang mengalami kegagapan dalam menghadapi beberapa perubahan besar dan mendadak seperti bencana pandemi Covid-19
2). Kecilnya kewenangan untuk mengambil diskresi membuat pejabat birokrasi tidak mampu mengembangkan inisiatif, dan kreatifitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
3). Lemahnya kepemimpinan.
4). Masih tingginya ego sektoral.
Dan 5). Masih rendahnya partisipasi masyarakat.
Beberapa kajian juga menunjukkan masih banyaknya kepala daerah yang terpilih kurang memiliki kompetensi, wawasan, dan manajemen yang memadai sehingga berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan yang bagai “berjalan di tempat”, bekerja dengan orientasi output bukan outcome, dan inovasi berorientasi awards bukan kesejahteraan masyarakat.
Banyaknya awards atau penghargaan yang diterima suatu daerah ternyata tidak diikuti dengan penurunan angka kemiskinan di daerah itu, peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, peningkatan Daya Saing daerah, peningkatan Indeks Kesejahteraan Rakyat, dan indikator positif lainnya.
Fenomena tersebut membutuhkan suatu tatanan pemerintahan daerah baru yang gesit, lincah, cepat, responsif, efisien dan efektif yang kita sebut dengan Agile Government.
Untuk dapat menghadirkan gagasan Agile Government tersebut diperlukan beberapa syarat bagi pemerintah daerah, seperti dikemukanan Prasodjo, E (2021) dan Purwanto, EA (2019).
Pertama, Kepemimpinan daerah harus bertransformasi menjadi Agile Leadership.
Karakter pemimpin haruslah siap menghadapi lingkungan yang tidak stabil dan tidak dapat diprediksi dengan pendekatan yang proaktif dan tidak alergi terhadap segala bentuk perubahan.
Pemimpin yang agile memiliki visi yang jelas yang berfokus pada tren baru dan tujuan organisasi yang strategis, lebih partisipatif, co creative, co innovative.
Karakter kepemimpinan agile akan memberikan kesempatan generasi milenial untuk menciptakan berbagai inovasi dalam pemerintahan.
Kedua, mengubah cara kerja birokrasi gaya lama ke cara kerja yang baru yang lebih terbuka, adaptif, dan responsif.
Metode agile yang dimaksud adalah mengubah upfront planning dengan incremental planning.
Metode agile ini apabila dijalankan akan mengubah pola pikir birokrasi publik dalam mengambil keputusan sekaligus juga mengikis mentalitas silo yang selama ini menjadi bagian dari cara kerja birokrasi.
Kondisi ini akan dapat merubah paradigma birokrasi daerah menjadi dinamis, berjejaring, dan berkolaboratif.
Ketiga, investasi sumber daya manusia untuk menguasai bidang ilmu-ilmu baru.
Dengan perkembangan ICT, birokrasi publik harus memahami bahwa pelanggannya telah berubah, baik itu perilaku maupun ekspektasinya pada layanan publik.
Untuk itu, birokrasi publik yang agile perlu melakukan investasi sumber daya manusia untuk memiliki kemampuan digital, seperti artificial intelligence, machine learning, predictive algorithm maupun big data. Agility dapat dicapai melalui integrasi organisasi dengan kemampuan sumber daya manusia yang terampil dan berpengetahuan serta penggunaan teknologi.
Gagasan menghadirlan Agile Government di daerah adalah jawaban tepat atas kebutuhan mengatasi berbagai permasalahan structural dan kultural di daerah.
Kehadiran birokrasi publik yang agile dan inovatif tidak hanya untuk meningkatkan layanan publiknya, tetapi juga menjawab tantangan masa depan yang serba tidak pasti.
Sebagai paradigma baru dalam organisasi, birokrasi yang menerapkannya akan dapat meningkatkan transparansi dan menjaring partisipasi masyarakat yang jauh lebih besar.
Tentu saja penggunaan teknologi serta penguasaan kapasitas digital menjadi bagian yang tidak dapat dihindari bagi birokrasi.
Sebagai organisasi yang tidak tunggal, birokrasi saling terhubung satu dengan lainnya dan ini membutuhkan keselarasan dari seluruh sistem pemerintahan yang berjalan.