Menggagas Hadirnya Agile Goverment Di Daerah
Dewasa ini Indonesia sedang mengalami kegagapan dalam menghadapi beberapa perubahan besar dan mendadak seperti bencana pandemi Covid-19
Hal itu karena mereka menyadari kebutuhan untuk bekerja lebih strategis, fleksibel, dan adaptif terhadap perubahan yang menghasilkan kebijakan dan layanan publik yang lebih baik.
Dengan demikian, agile bukanlah sebuah tujuan, melainkan syarat untuk mendorong agar birokrasi publik bekerja lebih strategis.
Namun, disadari bahwa tantangan dalam menerapkan paradigma agile tidaklah mudah. Birokrasi dituntut untuk dapat menciptakan pelayanan publik yang bukan bersifat one suits for all, tetapi justru personalized.
Cara kerja birokrasi publik selama ini terbukti tidak mampu menghasilkan kebijakan yang inovatif.
Birokrasi publik yang menerapkan paradigma agile ini akan merespons dengan cepat dan efektif setiap perubahan melalui penyesuaian kebijakan dan pelayanannya.
Lebih lanjut Luna, Kruchten, dan Moura (2015) menjabarkan agile government kedalam enam prinsip yakni:
1. Good enough governance: tingkat tata kelola harus selalu disesuaikan dengan konteks organisasi
2. Business-driven: bisnis harus menjadi alasan untuk setiap keputusan dan tindakan.
3. Human focused: masyarakat harus dihargai dan diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam tata kelola pemerintahan.
4. Based on quick wins: keberhasilan yang diraih secara cepat harus dirayakan dan dijadikan motivasi untuk lebih mendapatkan banyak rangsangan dan hasil.
5. Systematic and Adaptive approach: team harus dapat mengembangkan kemampuan intrinsik untuk dapat merespon perubahan secara cepat dan sistematis.
6. Simple design and continuous refinement: team harus mampu memberikan hasil yang cepat dan selalu meningkat.
Hadirnya Agile Government di Daerah
Selain yang telah diuraikan diatas, kegagapan pemerintah daerah dalam menghadapi perubahan besar yang masif dan dinamis antara lain juga disebabkan oleh :
1). Kompetensi dan performansi aparatur birokrasi yang terbatas.