Menggagas Hadirnya Agile Goverment Di Daerah

Dewasa ini Indonesia sedang mengalami kegagapan dalam menghadapi beberapa peru­bah­­an besar dan mendadak seperti bencana pandemi Covid-19

Editor: Salman Rasyidin
ist
Dr. Ir. H. Abdul Nadjib,.MM 

Oleh : Dr. Ir. H. Abdul Nadjib,.MM

Dosen FISIP UNSRI / Pemerhati Kebijakan Publik Daerah

Dewasa ini Indonesia sedang mengalami kegagapan dalam menghadapi beberapa peru­bah­­an besar dan mendadak seperti bencana pandemi Covid-19, disrupsi teknologi seba­gai dampak Revolusi Industri 4.0, serta menguatnya fleksibilitas dan mobilitas masya­ra­kat se­­­ca­ra virtual.

Perubahan besar dan mendadak ini menuntut birokrasi pemerintahan mam­pu menjadi turbin penggerak dalam merespon perubahan yang sangat cepat dan men­da­dak.

Namun demikian birokrasi kita terutama di daerah masih mempertahankan wajah “ja­dul”nya yang serba lambat, birokratis, manual, mahal, unproductive dan un­acountable.

Di sisi lain negara kita tertinggal dibandingkan dengan negara lain dalam merumuskan ke­bijakan dengan cepat dan tepat untuk menyikapi situasi dunia yang terus berubah dan ber­gerak secara dinamis, terutama di bidang informasi, komunikasi, dan teknologi (ICT).

Se­hingga beberapa indikator kemajuan Indonesia seperti Human Development Index, Cor­ruption Perception Index,  Government Effectiveness Index, Ease of Doing Business, dll mengalami ketertinggalan dibandingkan beberapa negara di ASEAN.

Kondisi ke­ga­gapan ini menjadi lebih parah terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Ren­dah­nya sense of crisis terhadap krisis pandemic Covid-19 yang berdampak meluas ke kri­sis ekonomi dan krisis lainnya.

Rendahnya Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) yang mengakibatkan daerah kurang siap menghadapai disrupsi teknologi yang mengglobal.

Dan masih tingginya patologi birokrasi di daerah, seperti  ko­­rup­si, paternalistik, dan budaya kerja , serta pelayanan publik yang masih buruk. 

Kondisi ini bukan hanya disebabkan karena keterbatasan kapasitas birokrasi (utamanya da­lam aspek kompetensi, integritas dan performansi), melainkan juga karena birokrasi ki­ta masih memegang teguh prinsip dasar birokrasi Weberian, yaitu regulasi, prosedur, hi­erarki, dan control.

Pada mulanya penerapan empat prinsip Weberian dalam birokrasi pub­lik diharapkan akan menciptakan sebuah sistem pemerintahan yang stabil.

Oleh ka­re­na itu, tidak heran apa­bila implementasi peraturan dan prosedur yang rigid dan hierarkis se­bagai pelaksanaan fungsi kontrol merupakan nilai utama dan pegangan kaum birokrat.

Namun, pengekalan terhadap prinsip tersebut justru membuat birokrasi gagal me­nye­su­ai­kan diri dengan perkembangan teknologi dan merespons tuntutan publik yang makin ting­gi (Puwanto, EA, 2019).

Di tengah dahsyatnya perubahan, birokrasi tetap mempertahankan prosedur yang hie­rar­kis dan rigid ini, serta terus berupaya melakukan standardisasi dan formalisasi agar ter­cip­ta lingkungan yang stabil.

Celakanya, kekakuan dalam memedomani berbagai prinsip ter­sebut telah menafikan realitas bahwa ketika masyarakat berubah, birokrasi pun harus ber­adaptasi demi merespons perubahan tersebut.

Birokrasi publik kita kehilangan ruang un­tuk berinovasi dan mengembangkan kreativitas juga karena kultur yang terbentuk da­lam birokrasi adalah kultur yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang menghargai keajegan, ru­tinitas, dan kepastian (Dwiyanto dalam Purwanto, EA, 2019).

Fenomena tersebut kemudian memunculkan gagasan mengenai Agile Government, peme­rin­tahan yang lincah, inovatif dan responsif serta sensitif terhadap perubahan.

Konsep Agi­le Government  perlu didukung oleh kehadiran Agile Leadersip yang dianggap men­ja­di stimulus dan berperan penting dalam mendorong Agile Government (Morrison et al, 20­19).

Pada akhirnya, Agile Government perlu direspon dengan formula Agile Bu­reau­cra­cy agar pemerintah dapat secara cepat berubah menjadi lebih lincah, inovatif dan res­ponsif sesuai tantangan dan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.

Memahami Agile Government   

Agile Government  diartikan sebagai kemampuan organisasi untuk merespon secara cepat perubahan yang tak terduga dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang se­makin berubah (Bradley et al., 2012).

Agile Government juga diartikan sebagai ke­mam­puan organisasi untuk dapat melakukan efi­siensi biaya, serta meningkatkan kecepatan dan ketepatan dalam mengeksploitasi pe­luang untuk menjadikan tindakan-tindakan ino­va­tif dan kompetitif (Queiroz et al., 2018).

Di daerah, organisasi sektor publik yang gesit juga mendapat manfaat dari tingkat pro­duk­tivitas yang lebih tinggi, kepuasan karyawan yang lebih besar, dan umpan balik yang le­bih baik dari warga.

Sebuah studi AT Kearney menemukan bahwa agensi sektor publik yang gesit melihat pe­ning­katan 53 persen dalam produktivitas, peningkatan 38 persen da­lam kepuasan karyawan dan peningkatan 31 persen dalam kepuasan pelanggan (Kearney, 2003).

Pada praktiknya, pemerintah yang lincah, gesit, dan responsive (Agile Govern­ment) me­nampilkan empat karakteristik, yaitu responsivitas, adaptasi strategis, berfokus pa­da hasil, dan memiliki manajemen antisipasi permasalahan masa depan.

Meskipun pada awalnya terminologi agile ini dipakai oleh pengembang software untuk me­rujuk pada metode dan praktik di bidang teknologi dan pelayanan digital yang lebih tanggap terhadap kebutuhan pelanggan.

Namun dalam perkembangannya logika agile juga dite­rap­kan untuk meningkatkan struktur, proses, perilaku, dan budaya birokrasi publik (Coo­ke, 2012).

Mengapa dalam dua dekade terakhir ini banyak pemerintah di dunia meng­adopsi paradigma agile ini?

Hal itu karena mereka menyadari kebutuhan untuk bekerja le­bih strategis, fleksibel, dan adaptif terhadap perubahan yang menghasilkan kebijakan dan layanan publik yang lebih baik.

Dengan demikian, agile bukanlah sebuah tujuan, me­la­inkan syarat untuk mendorong agar birokrasi publik bekerja lebih strategis.

Namun, disadari bahwa tantangan dalam menerapkan paradigma agile tidaklah mudah. Bi­rokrasi dituntut untuk dapat menciptakan pelayanan publik yang bukan bersifat one su­its for all, tetapi justru personalized.

Cara kerja birokrasi publik selama ini terbukti tidak mampu menghasilkan kebijakan yang inovatif.

Birokrasi publik yang menerapkan para­dig­ma agile ini akan merespons dengan cepat dan efektif setiap perubahan melalui penye­suaian kebijakan dan pelayanannya.

Lebih lanjut Luna, Kruchten, dan Moura (2015) menjabarkan agile government kedalam enam prinsip yakni:

1.      Good enough governance: tingkat tata kelola harus selalu disesuaikan dengan kon­teks organisasi

2.      Business-driven: bisnis harus menjadi alasan untuk setiap keputusan dan tindakan.

3.      Human focused: masyarakat harus dihargai dan diberikan ruang untuk ber­par­tisipasi dalam tata kelola pemerintahan.

4.      Based on quick wins: keberhasilan yang diraih secara cepat harus dirayakan dan dijadikan motivasi untuk lebih mendapatkan banyak rangsangan dan hasil.

5.      Systematic and Adaptive approach: team harus dapat mengembangkan kemam­pu­an intrinsik untuk dapat merespon perubahan secara cepat dan sistematis.

6.      Simple design and continuous refinement: team harus mampu memberikan hasil yang cepat dan selalu meningkat.

Hadirnya Agile Government di Daerah

Selain yang telah diuraikan diatas, kegagapan  pemerintah daerah dalam menghadapi per­u­bahan besar yang masif dan dinamis antara lain juga  disebabkan oleh :

1). Kom­pe­ten­si dan performansi aparatur birokrasi yang terbatas.

2). Kecilnya kewenangan untuk me­ngambil diskresi membuat pejabat birokrasi tidak mampu mengembangkan inisiatif, dan kre­atifitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

3). Lemahnya kepemimpinan.

4). Ma­sih tingginya ego sektoral.

Dan  5). Masih rendahnya partisipasi masyarakat.

Be­berapa kajian juga menunjukkan masih banyaknya kepala daerah yang terpilih kurang me­miliki kompetensi, wawasan, dan manajemen yang memadai sehingga berdampak pa­da penyelenggaraan pemerintahan yang bagai “berjalan di tempat”, bekerja dengan ori­en­tasi output bukan outcome, dan inovasi berorientasi awards bukan kesejahteraan ma­sya­rakat.

Banyaknya awards atau penghargaan yang diterima suatu daerah ternyata tidak diikuti  de­ngan penurunan angka kemiskinan di daerah itu, peningkatan Indeks Pem­bang­unan Ma­nusia, peningkatan Daya Saing daerah, peningkatan Indeks Kesejahteraan Rak­yat, dan indikator positif lainnya.

Fenomena tersebut membutuhkan suatu tatanan pemerintahan daerah baru yang gesit, lin­cah, cepat, responsif, efisien dan efektif yang kita sebut dengan Agile Government.

Untuk dapat menghadirkan gagasan Agile Government tersebut diperlukan beberapa syarat bagi pemerintah daerah, seperti dikemukanan Prasodjo, E (2021) dan Purwanto, EA (2019).  

Pertama, Kepemimpinan daerah harus bertransformasi menjadi Agile Leadership.

Ka­rak­ter pemimpin haruslah siap menghadapi lingkungan yang tidak stabil dan tidak dapat di­prediksi dengan pendekatan yang proaktif dan tidak alergi terhadap segala bentuk per­u­bahan.

Pemimpin yang agile memiliki visi yang jelas yang berfokus pada tren baru dan tu­­­juan organisasi yang strategis, lebih partisipatif, co creative, co innovative.

Karakter ke­pe­mimpinan agile akan memberikan kesempatan generasi milenial untuk menciptakan ber­bagai inovasi dalam pemerintahan.

Kedua, mengubah cara kerja birokrasi gaya lama ke cara kerja yang baru yang lebih terbuka, adaptif, dan responsif.

Metode agile yang di­mak­sud adalah mengubah upfront planning dengan incremental planning.

Metode agile ini apabila dijalankan akan mengubah pola pikir birokrasi publik dalam mengambil ke­pu­tus­­an sekaligus juga mengikis mentalitas silo yang selama ini menjadi bagian dari cara ker­ja birokrasi.

Kondisi ini akan dapat merubah paradigma birokrasi daerah menjadi di­na­mis, berjejaring, dan berkolaboratif.

Ketiga, investasi sumber daya manusia untuk me­ng­uasai bidang ilmu-ilmu baru.

Dengan perkembangan ICT, birokrasi publik harus me­ma­­hami bahwa pelanggannya telah berubah, baik itu perilaku maupun ekspektasinya pa­da layanan publik.

Untuk itu, birokrasi publik yang agile perlu melakukan investasi sum­ber daya manusia untuk memiliki kemampuan digital, seperti artificial intelligence, ma­chi­­ne learning,  predictive algorithm maupun big data. Agility dapat dicapai melalui in­te­gra­si organisasi de­ngan kemampuan sumber daya manusia yang terampil dan ber­pe­nge­tahuan serta penggunaan teknologi.

Gagasan menghadirlan Agile Government di daerah adalah jawaban tepat atas kebutuhan mengatasi berbagai permasalahan structural dan kultural di daerah.

Kehadiran birokrasi pub­lik yang agile dan inovatif tidak hanya untuk meningkatkan layanan publiknya, tetapi ju­ga menjawab tantangan masa depan yang serba tidak pasti.

Sebagai paradigma baru da­lam organisasi, birokrasi yang menerapkannya akan dapat meningkatkan transparansi dan men­jaring partisipasi masyarakat yang jauh lebih besar.

Tentu saja penggunaan teknologi ser­ta penguasaan kapasitas digital menjadi bagian yang tidak dapat dihindari bagi biro­kra­si.

Sebagai organisasi yang tidak tunggal, birokrasi saling terhubung satu dengan la­in­nya dan ini membutuhkan keselarasan dari seluruh sistem pemerintahan yang berjalan.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved