Polemik UU Cipta Kerja : Terpenting Pangkas Biaya Siluman

Polemik terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, sepertinya sampai saat ini belum ber­akhir.

Editor: Salman Rasyidin
ist
Amidi 

Kemudian yang luar biasa, selama ini Indonesia tak pernah sa­ngat ber­gan­tung pada investasi asing. (detikfinace, 9 oktober 2020).

Dari pernyataan di atas, bahwa tidak sepenuhnya UU Cipta Kerja tersebut dapat men­dorong investasi, selama ini para investor masih mempertimbangkan beberapa faktor pendorong memulai in­vestasi, seperti yang dikemukakan di atas.

Namun ada yang lebih penting bagi investor adalah per­soalan biaya investasi (investment cost).

Untuk menekan biaya yang dikeluarkan investor dalam berinvestasi, pemerintah telah me­n­dirikan Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

Namun belum cukup, biaya yang mereka keluarkan dalam pengurusan izin dalam berinvestasi masih dirasakan be­lum efisien.

Menurut Ketua LP3E Kadin Pusat beberapa waktu lalu bahwa tingginya biaya peng­ur­us­an admi­nis­trasi akibat pungutan liar atau biaya siluman dalam berinvestasi menyebabkan kaburnya para ca­lon investor dikarenakan harus mengeluarkan dana melebihi yang seharusnya.

Hal ini diper­te­gas oleh Didik J. Rachbini, bahwa biaya memulai investasi­/u­sa­­ha di Indonesia tertinggi setelah Filipina, di Filipina sebesar 19,2 persen.

Menurut Setyo Budiantoro biaya siluman atau praktek pungli dalam kegiatan investasi di In­do­ne­sia sulit dihilangkan, bahkan investor harus mengeluarkan banyak biaya untuk mempercepat in­ves­­tasi, jika tidak maka akan terhambat.

Dalam rantai distribusi, investor harus membayar biaya re­­tribusi yang dikenakan pada masing-masing daerah yang di­la­lui.

Ekonomi biaya tinggi me­ru­pa­kan biaya tidak terkontrol yang besarnya bisa mencapai 20-30 persen dari biaya ekonomi (biaya res­mi).

Beegitu juga dengan biaya siluman yang melanda para pengembang perumahan rakyat.

Seperti dikatakan Ali Tranghanda Direktur Indonesia Property Watch (IPW) bahwa ber­dasarkan hasil in­vestigasinya biaya siluman atau biaya tambahan diluar biaya produksi di­bidang perumahan ter­sebut mencapai 4,64 persen dari harga rumah bersubsidi bahkan ada yang mencapai sampai 15 per­sen (Yuliana Fauzi, CNN Indonesia,29/02/2017).

Menurut Ali dengan demikian pengembang harus mengeluarkan dana cadangan dimuka tidak ke­cil, biaya siluman tersebut mencakup biaya perizinan, biaya sertifikasi, biaya koordinasi antar petugas hingga termasuklah “biaya pengaman”.

Padahal biaya-biaya ter­sebut dapat digunakan un­tuk biaya tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility-CSR) dan dana CSR tersebut sebetulnya bisa digunakan untuk fasilitas tambahan di perumahan rakyat tersebut sehingga memiliki berbagai fasilitas penunjang dan tentunya akan tertata rapi.

Biaya tambahan atau biaya siluman tersebut juga melanda konsumen Kartu Kredit.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved