Polemik UU Cipta Kerja : Terpenting Pangkas Biaya Siluman

Polemik terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, sepertinya sampai saat ini belum ber­akhir.

Editor: Salman Rasyidin
ist
Amidi 

Seperti di Sumatera Selatan (Sumsel) ini, investasi su­dah merambah ke Kabupaten/Ko­ta di Pro­vinsi Sumsel, sehingga Kabupaten/Kota tersebut juga i­kut berkembang Kota Pa­lembang.

Gencarnya investasi di Indonesai dan atau di daerah–daerah karena faktor pendorong investasi yang ada memang mendukung.

Seperti suku bunga pinjaman ,memang di ne­geri ini suku bunga ma­sih terbilang tinggi dibandingkan dengan Negara lain, tapi masih lu­­­mayan.

Kondisi sarana dan pra­sarana sudah memadai, nilai tukar juga masih diang­gap stabil, tingkat inflasi masih terkendali dan Tingkat pendapatan per kapita dan atau PDRB per kapita masih mendukung.

Dari beberapa faktor pendorong tersebut, sebenarnya sudah cukup membuat dan atau men­dorong investor tertarik untuk melakukan atau menanam investasinya ke negeri ini dan atau ke daerah ini.

Namun, memang diakui masih ada beberapa hal yang meng­gan­jal, seperti masalah keamanan dan biaya diluar biaya normal atau sering munculnya bia­ya siluman.

Mencermati fenomena yang ada, sepertinya pemerintah bersikukuh menerbitkan dan mem­­berla­ku­kan UU Cipta Kerja tersebut dengan dalih untuk menggenjot investasi, bah­kan sudah ditanda ta­ngani Presiden. Sah-sah saja kalau kita ingin menggenjot investasi de­mi pertumbuhan ekonomi, na­mun perlu dicermati, apakah benar dengan adanya UU Cip­ta Kerja tersebut dijamin dapat men­dorong pertumbuhan investasi yang lebih besar lagi?.

Menurut hemat saya tidak demikian, selama ini investasi di Indonesia pertumbuhan-nya lumayan dibandingkan dengan negara-negara lain.

Di Sumatera Selatan sendiri secara ka­sat mata dapat kita lihat, investasi terus tumbuh dan berkembang dalam bentuk pem­bang­unan dan pertambahan unit usaha baru.

Menurut saya ada yang lebih penting yakni ki­ta harus komitmen memangkas biaya si­luman (illegal cost) atau biaya tak kentara (invisible cost)

Memang sebagaimana di ketahui bahwa di Indonesia dalam mengejar pertumbuhan e­konomi sa­ngat tergantung pada tingkat konsumsi, ekspor dan inveatasi.

Investasi ini sum­­bangannya pada Produk domestik Bruto (PDB) menduduki urutan nomor 2 setelah kon­sum­si masyarakat, konsumsi masyarakat mencapai sekiar 50 lebih sedangkan investasi mencapai sekitar 30 persen lebih,

Pub­likasi tahunan UNCTAD terbaru, World Invesmenet Report 2020, kini membuktikan re­putasi In­donesia cukup menonjol, Indonesia bertengger di kelomppok top-20 di dunia un­­tuk urusan in­ves­tasi langsung, foreign direct investment (FDI). 

Di ASEAN, hanya Indo­ne­sia dan Sinagpura yang masuk kelompok top-20 dunia.

Padahal, menurut Faisal Basri, Indonesia bisa dikatakan da­pat jual mahal terhadap in­vestor asing.

Halaman
1234
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved