Polemik UU Cipta Kerja : Terpenting Pangkas Biaya Siluman
Polemik terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, sepertinya sampai saat ini belum berakhir.
Seperti di Sumatera Selatan (Sumsel) ini, investasi sudah merambah ke Kabupaten/Kota di Provinsi Sumsel, sehingga Kabupaten/Kota tersebut juga ikut berkembang Kota Palembang.
Gencarnya investasi di Indonesai dan atau di daerah–daerah karena faktor pendorong investasi yang ada memang mendukung.
Seperti suku bunga pinjaman ,memang di negeri ini suku bunga masih terbilang tinggi dibandingkan dengan Negara lain, tapi masih lumayan.
Kondisi sarana dan prasarana sudah memadai, nilai tukar juga masih dianggap stabil, tingkat inflasi masih terkendali dan Tingkat pendapatan per kapita dan atau PDRB per kapita masih mendukung.
Dari beberapa faktor pendorong tersebut, sebenarnya sudah cukup membuat dan atau mendorong investor tertarik untuk melakukan atau menanam investasinya ke negeri ini dan atau ke daerah ini.
Namun, memang diakui masih ada beberapa hal yang mengganjal, seperti masalah keamanan dan biaya diluar biaya normal atau sering munculnya biaya siluman.
Mencermati fenomena yang ada, sepertinya pemerintah bersikukuh menerbitkan dan memberlakukan UU Cipta Kerja tersebut dengan dalih untuk menggenjot investasi, bahkan sudah ditanda tangani Presiden. Sah-sah saja kalau kita ingin menggenjot investasi demi pertumbuhan ekonomi, namun perlu dicermati, apakah benar dengan adanya UU Cipta Kerja tersebut dijamin dapat mendorong pertumbuhan investasi yang lebih besar lagi?.
Menurut hemat saya tidak demikian, selama ini investasi di Indonesia pertumbuhan-nya lumayan dibandingkan dengan negara-negara lain.
Di Sumatera Selatan sendiri secara kasat mata dapat kita lihat, investasi terus tumbuh dan berkembang dalam bentuk pembangunan dan pertambahan unit usaha baru.
Menurut saya ada yang lebih penting yakni kita harus komitmen memangkas biaya siluman (illegal cost) atau biaya tak kentara (invisible cost)
Memang sebagaimana di ketahui bahwa di Indonesia dalam mengejar pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada tingkat konsumsi, ekspor dan inveatasi.
Investasi ini sumbangannya pada Produk domestik Bruto (PDB) menduduki urutan nomor 2 setelah konsumsi masyarakat, konsumsi masyarakat mencapai sekiar 50 lebih sedangkan investasi mencapai sekitar 30 persen lebih,
Publikasi tahunan UNCTAD terbaru, World Invesmenet Report 2020, kini membuktikan reputasi Indonesia cukup menonjol, Indonesia bertengger di kelomppok top-20 di dunia untuk urusan investasi langsung, foreign direct investment (FDI).
Di ASEAN, hanya Indonesia dan Sinagpura yang masuk kelompok top-20 dunia.
Padahal, menurut Faisal Basri, Indonesia bisa dikatakan dapat jual mahal terhadap investor asing.