Unjuk Rasa Yang Belum Bisa Dewasa

Gelombang unjuk rasa yang mengaku dari kalangan buruh dan organisasinya, mahasiswa dan bah­kan pelajar kembali terjadi

Editor: Salman Rasyidin
SRIPOKU.COM/ABDUL HAFIZ
Joko Siswanto 

Saya yakin pelajar, mahasiswa dan para buruh yang berunjuk ra­sa akhir-akhir ini sebagian besar tidak atau belum pernah membaca atau mempelajari UU N0.9 Tahun 1998.  

Bi­sa jadi, yang mengerti aturan unjuk rasa hanya segelintir peserta atau mu­ng­kin hanya pim­pin­annya saja.

Sebagian besar dari mereka umumnya hanya mengetahui bah­wa dalam negara de­mokrasi boleh berdemonstrasi, tetapi bagaimana melaksanakan demonstasi menurut hukum yang berlaku tidak dipelajari lebih lanjut.

Dengan ketidaktahuan tersebut para peserta unjuk rasa sangat mudah untuk diajak berbuat hal-hal yang mestinya dilarang dila­ku­kan (anarkistis).

Oleh karena itu, sosialisasi UU Nomor 9 tahun 1998 sebagai bagian dari pro­ses pendidikan politik di kalangan masyarakat harus gencar dilakukan tiada henti oleh peme­rin­tah karena generasi silih berganti yang selalu harus diberi pendidikan politik.

Dengan pe­ma­haman yang benar tentang kebebasan menyampaikan pen­da­pat di muka umum diharapkan jika akan unjuk rasa bisa berjalan sesuai aturan yang berlaku dan dengan demikian  potensi akan terjadi anarkistis bisa dicegah.

Kedua, jika pemahaman unjuk rasa yang benar sudah relatif meluas dipahami masyarakat, ma­ka perlu ada sikap antisipatif dari pihak aparat keamanan (polisi) dengan asumsi bahwa setiap unjuk rasa ada potensi penumpang gelap. Bahkan potensi dari  kelompok-kelompok liar dan perorangan yang selalu mencoba memanfaatkan situasi keruh untuk mendapatkan keuntungan secara politis dan ekonomis atau sekedar puas bikin suasana chaos atau kacau.

Situasi kehidupan ekonomi ma­syarakat yang sulit akibat dampak pandemi Covid-19 menambah daya dorong untuk mencari ke­sempatan dalam kesempitan melakukan tindak krimial pengrusakan dan penjarahan.

Mereka yang kecewa karena himpitan ekonomi dan lemah moralitas akan membangun ke­sem­patan terjadinya anarkistis antara lain dengan  menggunakan media sosial untuk memprodukasi dan menyebarluaskan hoaks.

Diduga kuat unjuk rasa baru-baru ini ada pihak ketiga yang men­dom­pleng untuk mendapatkan keuntungan politis dan ekonomis serta banyak hoaks yang me­ma­nas­kan situasi sehingga unjuk rasa meluas di berbagai daerah dan memprovok untuk ber­bu­at anarkistis.

Ketiga, komunikasi politik yang mampet atau tidak berjalan lancar dan transparan antara pe­merintah/DPR dengan masyarakat dalam pembahasan suatu rencana kebijakan (RUU) men­dorong munculnya sikap kecurigaan masyarakat terhadap pemerintah.

Ketidakpahaman ma­syarakat tentang isi suatu RUU cenderung  melakukan ikut-ikutan unjuk rasa tanpa dasar  dan tu­juan yang jelas.

Dan ini bisa berakibat pengunjuk rasa dengan mudah dibawa ke tindakan yang anarkistis. Rakyat menuding pihak legislatif dan eksekutif cenderung mementingkan ke­lompok elite (pengusaha dan penguasa).

Sehingga ada kesan terjadi persekongkolan politik di kalangan elite.

Jika kecurigaan ini didiamkan mendekam di hati rakyat ibarat menyimpan bom waktu,  jika ada peluang akan meledak. Benar, bom itu meledak, rakyat marah, unjuk rasa pun anarkistis.

Halaman
1234
Sumber:
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved