Unjuk Rasa Yang Belum Bisa Dewasa
Gelombang unjuk rasa yang mengaku dari kalangan buruh dan organisasinya, mahasiswa dan bahkan pelajar kembali terjadi
Pendek kata unjuk rasa di Hongkong tidak anarkistis, di Indonesia anarkistis.
Unjuk rasa atau demonstrasi dibolehkan dan dilegalkan di negara demokrasi, karena itu merupakan hak politik rakyat, sepanjang mengikuti aturan yang berlaku.
Jika di negara demokrasi tidak ada demontrasi ibarat masakan kurang garam alias hambar (Joko Siswanto, Demokrasi dan Demonstrasi, Opini Sriwijaya Post, 8 Juli 2000).
Aturan main melakukan unjuk rasa diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Dalam UU tersebut sudah sangat jelas aturannya dan sangat menjunjung tinggi hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
Pada umumnya secara administratif para pihak yang akan unjuk rasa relatif sudah mengikuti prosedur dengan mengajukan pemberitahuan kepada polisi.

Pemberitahuan ke polisi itu harus mencantumkan koordinator atau yang bertanggung jawab atas unjuk rasa yang akan dilakukan, jumlah massa, tujuan dan maksud unjuk rasa, bentuk unjuk rasa, tempat, lokasi atau rute, nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan, dan alat peraga yang akan digunakan.
Polisi setelah menerima pemberitahuan akan melakukan pengamanan dan perlindungan kepada pengunjuk rasa agar bisa berlangsung lancar, aman, damai dan tertib.
Jika ada unjuk rasa liar atau tidak memberitahukan kepada polisi maka polisi berhak dan berwenang untuk membubarkan unjuk rasa.
Namun dalam praktek di lapangan, unjuk rasa sering terjadi keluar dari koridor hukum yang berlaku.
Unjuk rasa sering mengganggu ketertiban umum, mengeluarkan kalimat dan kata-kata yang tidak sopan, mengumpat petugas, jumlah massa tidak dapat dikontrol, alat peraga tidak sesuai dengan yang diajukan, bentrok dengan polisi sering terjadi.
Dan yang paling ekstrim melakukan anarkistis dengan merusak fasilitas umum dan mengganggu ketertiban umum dan keamanan.
Dengan bahasa lain, pelaku unjuk rasa belum bisa bersikap dewasa dalam arti taat terhadap aturan main.
Berdasarkan pengamatan penulis, ada sejumlah alasan yang bisa diketengahkan di sini mengapa unjuk rasa di Indonesia belum bisa dewasa atau belum bisa patuh terhadap aturan main (hukum) yang berlaku.
Pertama, peserta unjuk rasa pada umumnya adalah massa yang belum memahami aturan berunjuk rasa.