Berita Muratara
Mengenal Tradisi Melangun dan Basale, Tradisi Suku Anak Dalam di Muratara yang Mulai Ditinggalkan
Suku Anak Dalam adalah kelompok Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan.
SRIPOKU.COM, MURATARA -- Suku Anak Dalam adalah kelompok Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan.
Suku Anak Dalam atau biasa disebut "orang rimba" memiliki tradisi unik yang turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Dari banyak tradisi, dua di antaranya cukup terkenal, yakni tradisi "melangun" dan "basale".
Namun dua tradisi itu perlahan mulai ditinggalkan mereka seiring dengan perkembangan zaman.
Ketua Adat Suku Anak Dalam, Japaren mengatakan, dua tradisi itu hampir tidak pernah lagi dilaksanakan oleh Suku Anak Dalam.
"Waktu saya kecil dulu masih sering, tapi sekarang tidak ada lagi, mungkin seumuran saya yang terakhir mengikuti tradisi itu," kata Japaren, Selasa (28/7/2020).
• Tiga Bandar Sabu Resahkan Warga Palembang Diringkus 840 butir ekstasi dan 49,01 Gram Sabu diamankan
• Masih Simpan Lembaran Uang Kertas yang Lama, Siap-siap Diburu Kolektor, Harganya Capai Jutaan Rupiah
Ia menjelaskan, "melangun" merupakan tradisi berpindah-pindah rumah dari satu tempat ke tempat lain.
Apabila ada anggota keluarga mereka yang meninggal dunia, mereka pindah dan meninggalkan rumah yang ditempatinya.
Menurut Japaren, perpindahan tempat tinggal itu karena dinilai rumah yang ditempatinya mendatangkan kesialan.
Sehingga mereka harus pindah dan membangun rumah baru di tempat lain.
"Kalau ada yang meninggal langsung dikubur, setelah itu kami langsung pergi pada hari itu juga.
Satu malam pun tidak kami tempati lagi rumah itu, karena bagi kami rumah itu sial," ujarnya.
Dalam tradisi Suku Anak Dalam, rumah yang baru saja ada anggota keluarganya meninggal dunia tak boleh lagi dihuni.
• Punya Satu Handphone, 4 Kakak Beradik di Palembang Bergantian hingga Rebutan Demi Bisa Belajar
• 9 Kali Swab Test, Kabag Humas dan Protokol Pemkot Lubuklinggau Sembuh dari Covid-19
Jika masih dihuni, maka kematian akan kembali menimpa keluarganya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Untuk menghindari kesialan yang seolah sudah menjadi kutukan itu, maka seluruh anggota keluarga mereka yang masih hidup harus pindah.
"Itulah tradisi kami waktu itu, karena ada semacam ketakutan bakal terkena sial juga kalau tidak segera pindah.
Tapi sekarang tradisi itu mulai ditinggalkan, kami sudah menetap, tidak pindah-pindah lagi," katanya.
Ia melanjutkan, selain tradisi "melangun", ada pula tradisi "basale" yang merupakan ritual untuk menyembuhkan orang sakit.
Tradisi ini juga perlahan ditinggalkan setelah adanya pusat kesehatan masyarakat hingga ke pelosok daerah.
"Dulu memang kalau ada orang yang sakit maka orang tua kami bersama warga Suku Anak Dalam lainnya mengadakan upacara basale.
Tujuannya untuk mengusir roh jahat yang ada dalam tubuh orang yang sakit itu," kata Japaren.
Tokoh pemuda pemerhati Suku Anak Dalam, Supandri menuturkan saat ini hampir tidak ada lagi tradisi "melangun".
• Ketua PN Pangkalan Balai tak Terima Tanah Milik Orangtuanya Diduga Diserobot Salah Satu Perusahaan
• Tak Berjodoh Rekrut Atep, Muba Babel United Cari Alternatif Bidik Pemain Bintang
Sebab warga Suku Anak Dalam sudah menetap di satu tempat, tidak hidup nomaden atau berpindah-pindah lagi.
"Warga Suku Anak Dalam yang masih pindah-pindah itu bukan karena tradisi melangun lagi, mereka mau mencari makan.
Mereka kerja untuk kebutuhan hidup sehari-hari, mereka tinggal di kebun-kebun sawit mencari berondolan untuk dijual," ujar Supandri.
Ia menambahkan, selain sudah menetap, kini Suku Anak Dalam juga bisa bersosialisasi dengan orang-orang selain dari komunitasnya.
Mereka hidup seperti masyarakat pada umumnya, baik dari segi berpakaian, berinteraksi, dan lain sebagainya.
"Sekarang kehidupan mereka sudah modern, di antara mereka ada yang punya smartphone, sepeda motor.
Kemudian anak-anak mereka juga sudah ada yang jadi sarjana, mereka sudah berbaur dengan masyarakat biasa," katanya.
Ia melanjutkan, tradisi "melangun" itu perlahan menghilang setelah Suku Anak Dalam mendapat pembinaan dari pemerintah.
"Sekitar tahun 1960-an, ada pemerintah namanya Pesirah, jadi mereka diberi pemahaman, mereka tetap di rumah walaupun ada anggota keluarga yang meninggal.
Ternyata tidak terjadi apa-apa, walaupun mereka tidak pindah, dari situlah tradisi melangun mulai hilang," ceritanya.
• Bandara SMB II Palembang Tak Sediakan Jalur Khusus Penumpang dengan Hasil PCR Negatif, Ini Alasannya
• Isak Tangis Iringi Pemakaman Yanto, Warga OKI Sumsel yang Ditemukan Meninggal di Pelabuhan Merak
Begitu pun tradisi "basale" kata Supandri, sudah tidak pernah dijumpai kembali di kalangan Suku Anak Dalam.
Pemerintah telah menganjurkan agar warga Suku Anak Dalam berobat di pusat kesehatan masyarakat apabila ada yang menderita sakit.
"Mereka bisa berobat di pusat kesehatan yang disediakan pemerintah, ternyata beberapa penyakitnya bisa disembuhkan.
Dari situ pula akhirnya tradisi basale itu juga perlahan mulai ditinggalkan Suku Anak Dalam," katanya.