BPJS Naik, Kualitas Pelayanan Kesehatan Juga Harus Baik
Wacana pemerintah untuk menaikan iuran Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Kedua kasus ini tentu dapat dikatakan sebuah paradoks di mata masyarakat, artinya di satu sisi pemerintah berjuang ekstra keras dalam menangani defisit anggaran BPJS, sisi lainnya pemerintah justru masih sempat memikirkan kesejahteraan para pejabat BPJS, yang urgensinya masih belum jelas.
Padahal, gaji yang didapat oleh direksi maupun dewan pengawas BPJS saat ini dapat dikatakan lebih dari cukup.
Maka hal ini sangat kontradiktif dengan kondisi lembaga BPJS tersebut yang sedang merugi.
Fenomena ini akan mengiring persepsi publik yaitu bahwa keseriusan pemerintah dalam menyelamatkan BPJS Kesehatan dari defisit anggaran patut untuk dikritisi.
Pastilah pertanyaan yang muncul ke publik, bagaimana mungkin di saat BPJS mengalami defisit anggaran, pemerintah masih sempat memikirkan wacana kenaikan tunjangan cuti bagi direksi dan dewan pengawas tersebut?.
Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan
Pada hakekatnya, perwujudan derajat kesehatan yang setinggi–tingginya bagi individu atau masyarakat terlaksana apabila upaya kesehatan terselenggara secara optimal.
Optimalisasi upaya kesehatan ini dapat terlihat dari salah satu aspek yaitu standar pelayanan minimal kesehatan yang diberikan pemerintah harus terjamin (Soekidjo Notoatmodjo, 2018: 62).
Pemerintah apabila pada akhirnya resmi menetapkan kenaikan iuran BPJS tersebut, maka mau tidak mau kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat seyogianya juga harus baik.
Sebagaimana adagium yang menyebutkan “harga menentukan kualitas barang/jasa”, maka iuran yang meningkat tajam tersebut juga harus diiringi dengan kualitas pelayanan kesehatan yang meningkat tajam juga.
Perbaikan kualitas pelayanan kesehatan ini dapat dilakukan apabila pemanfaatan sumber daya di bidang kesehatan tersebut dikelola secara baik.
Adapun maksud dari sumber daya di bidang kesehatan disini sebagaimana Pasal 1 angka (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Sudah sepatutnya pihak BPJS Kesehatan dapat memanifestasikan nilai dalam isi pasal tersebut terhadap masyarakat secara efektif.
Cerita mengenai lambatnya proses pelayanan bahkan ditolaknya pasien BPJS waijb untuk tidak terulang kembali.
Sungguh ironis, di saat iuran BPJS sudah dinaikkan menjadi dua kali lipat, akan tetapi cerita kelam mengenai buruknya pelayanan kesehatan masih terulang kembali.
Lebih memprihatinkan lagi ialah yang menjadi korban dari kurang optimalnya pelayanan kesehatan ini adalah kalangan masyarakat miskin.