Jemaah Haji Nusantara : Dulu dan Sekarang
Bagi umat Islam, ibadah haji termasuk rukun Islam --wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu.
Berbagai disiplin ilmu dipelajari seperti bahasa Arab (lughah), ilmu- ilmu Al- Qur’an, ilmu-ilmu Hadits, Fiqh, Ushul Figh, dan ilmu- ilmu terapan lainnya.
Jangka waktu bermukim di Kota Suci ini beragamam.
Mulai dari setahun hingga belasan tahun.
Oleh karena itu, para jama’ah haji mukim ini memiliki kualitas keilmuan yang mumpuni.
Bagi haji mukim ini, makna perintah istitha’ah(kesanggupan) dalam kewajiban menunaikan ibadah haji, bukan hanya terbatas pada kesanggupan biaya dan kesehatan jasmani dan rohani, melainkan juga penguasaan keilmuan.
Oleh sebab itu, sebelum berangkat, para calon jama’ah sudah mempersiapkan diri selama dua atau tiga tahun di kampung halamannya.
Jadi selama mukim ( menetap ) di Mekkah, mereka berusaha meningkatkan, memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang Islam dengan berbagai macam disiplin ilmunya.
Kemampuan yang dimiliki oleh para haji mukim ini pula yang menempatkan mereka pada kedudukan yang terhormat, saat kembali ke Tanah Air.
Rata-rata para haji mukim ini didaulat olehmasyarakat sebagai guru dalam ilmu-ilmu keislaman.
Melalui pengalaman dan latar belakang keilmuan mereka, haji mukim ini mampu menempatkan dir mereka sebagai sosok pemimpin kharismatis yang menjadi teladan dalam kehidupan masyarakatnya.
Mereka selalu ditokohkan dalam setiap aktivitas keagamaan seepanjang tahun.
Mulai dari yang bersifat ibadah wajib maupun sunnah.
Berbagai upacara tradisional juga mereka masukkan ke dalam kemasan nilai-nilai ajaran Islam.
Kemasan dimaksud antara lain seperti upacara pernikahan, akikah, khitanan, pembacaan do’a, khataman Al- Qur’an, maupun perayaan hari- hari besar Islam.
Para haji mukim ini ternyata mampu menempatkan diri mereka dalam sosok al- ‘ulama warasat al- anbiya” ( ulama sebagai pewaris para Nabi ),
Dengan kemampuan dan status yang dimiliki, maka rata- rata para haji mukim ini dikenal dengan sebutan “ulama yang siap pakai.”
Mereka bisa dan mampu menempatkan diri sebagai pemimpin dalam setiap penyelenggaraan kegiatan keagamaan.
Kapan saja dan dimana saja. Mereka tak pernah menolak, atau mencari- cari alasan untuk menghindar.
Pokoknya dijamin semua ditanggung beres.
Lancar acaranya dan benar pelaksanaannya.
Semuanya diterima masyarakat.
Sosok seperti ini dalam tamsil olehmasyarakat Melayu dibaratkan dengan “beras basah” sebagai bahan baku makanan pokok, beras dapat diolah menjadi berbagai macam jenis kuliner, antara lain, nasi, ketupat, lontong, bubur atau berbagai ragam kudapan.
Di semua jenis kuliner ini, beras basah dapat digunakan tanpa memerlukan olahan yang rumit.
Setelah masa berlalu, tampaknya kondisi yang dihadapi jama’ah haji sudah mengalami perubahan.
Para calon jama’ah terkesan hanya membekali diri dengan “istitha’ah” (kesanggupan) sebatas biaya dan keseehatan.
Sementara kesanggupan yang terkait dengan “ilmu “ boleh dikatakan hampir terabaikan sama sekali.
Para calon jama’ah haji masa kini membekali diri dengan keilmuan hanya selama beberapa bulan, menjelang keberangkatan mereka ke Tanah Suci.
Itupun cuma sekedarnya. Oleh karena itu, bukanlah suatu keanehan bila banyak juga di antara calon jama’ah haji ini cuma bisa melafazkan do’a-do’a yang terkait bacaan dalam ibadah haji ini melalui “ejaan “ hurup (aksara) Latin.
Sama sekali “buta hurup “ Hijaiyyah. Hurup Kitab Suci mereka.
Dengan kemampuan yang terbatas dan “ sangat “ minim ini, sulit bagi mereka yang memiliki kondisi seperti ini mampu memahami, menangkap, maupun menghayati nilai- nilai filosofis yang terkandung dalam ibadah haji itu sendiri.
Menyimak kondisi para jama’ah haji di Tanah Air, akhir- akhir ini , tampaknya apa yang diprediksi oleh Rasul Allah Saw. secara berangsur sudah mulai terbukti kebenarannya.
Dalam sabdanya, beliau mengungkapkan :“Akan datang suatu masa yang dialami manusia, yaitu : orang kaya dari umatku yang melaksanakan ibadah haji ( niatnya) karena wisata, orang kalangan menengah (niatnya) karena berdagang, orang kalangan ahli pengetahuan ( niatnya ) karena riya’ dan sum’ah, dan kaum fakir miskin di antara mereka ( niatnya ) karena untuk meminta minta (HR. Ibn Jauzy).
Gelar haji selalu diterakan di depan nama, setelah pulang berhaji. Gelar “haji “ ini menjadi semakin penting, di masa- masa Pilkada dan Pileg.
Namun setelah terpilih predikat tersebut mulai “ berguguran”.
Bagi yang calon yang terpilih hurup, setelah menduduki jabatan, tak jarang pula “hurup H “ yang berada di depan nama digeser ke belakang.
Manakala sudah bersinggungan dengan proyek pembangunan, hurup H ini dimunculkan dalam kemasan “tiga sekawan”:
Halal, Haram, Hantam.” Mau tahu ? Simak saja daftar para pejabat yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hampir setiap periode dipastikan termuat nama- nama pelakupenyandang “ Haji”