Jemaah Haji Nusantara : Dulu dan Sekarang
Bagi umat Islam, ibadah haji termasuk rukun Islam --wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu.
Kemudian setelahTerusan Suez dibuka tahun 1869 terjadi peningkatan secara cepat.
Pada tahun 1927, jumlah calon jama’ah haji menjadi 52.412 orang.
Untuk mengurus dalam pengaturan dan pengawasan “warga negaranya“ di Tanah Suci ini,maka Pemerintah Hindia Belanda membuka Konsulatnya di Jeddah, dan tahun 1945 ditingkatkan menjadi Kedutaan (Akib Suminto, 1985).
Sebagai penjajah,pihak Belanda berusaha untuk membatasiusaha mengerjakan rukun Islam kelima ini dengan mengeluarkan berbagai peraturan.
Pada tahun 1825 calon jama’ah dari pulau Jawa diwajibkan membayar f 110 ( seratus sepuluh gulden ) untuk memperoleh izin berangkat.
Tahun 1831 ditetapkan, bahwa calon- calon jama’ah haji yang tidak membayar jumlah ini sebelum berangkat, akan diwajibkan membayar dua kali lipat sekembali mereka dari Mekkah nantinya.
Peraturan ini dicabut pada tahun 1852, dan diganti tahun 1859.
Dalam peraturan ini setiap calon jama’ah hajiharus dapat membuktikan bahwa mereka kuat dalam soal keuangan.
Selain untuk biaya ibadah haji,juga buat keperluan famili- famili dalam tanggungan mereka yang tinggal.
Calon jama’ah diharuskan memperlihatkan kepada Regen ( Bupati ) , ataupun pada pegawai petugas di kapal yang akan membawanya ke Mekah.
Sekurang- kurangnyamembawa uang kontan sejumlah f 500 untuk keperluan pelayaran.
Setelah kembali dari menunaikan ibadah haji, juga harusdiujimengenai soal- soal Mekkah dan Islam.
Bila mereka lulus dari ujian ini, barulah dianggap berhak untuk menggunakan “haji” di depan nama mereka.
Peraturan tahun 1859 ini dicabut tahun 1902, tetapi keharusan memperlihatkan uang kontan f 500 bagi setiap calon jama’ah baru dihapus tahun 1905 (Deliar Noer, 1985 ).
Segala bentuk peraturan yang dikeluarkan dimaksud terkait dengan keperluan politik kolonial Pemerintah Hindia Belanda.