Jemaah Haji Nusantara : Dulu dan Sekarang
Bagi umat Islam, ibadah haji termasuk rukun Islam --wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu.
Untuk kepentingan tersebut mereka mendirikan Kantoor voor Inlandsche Zaken, yang tugasnya memberi saran kepada Pemerintah kolonial Belanda tentang masalah-masalah pribumi.
Dalam masalah ibadah haji ke Mekkah, kantor ini berusaha meyakinkan penduduk tentang undang-undang dan peraturan yang ada, agar tidak terjadi penyimpangan.
Melalui kerjasama dengan perusahaan pelayaran mereka membuat rencana pelayaran, melalukan penelitian tentang kesehatan jama’ah selama perjalanan haji, mengurus harta mereka yang meninggal dalam menunaikan ibadah haji.
Penunjukan pimpinan haji juga ditentukan oleh Kantor ini, dan didasarkan pada kelakuan baik, serta bebas dari ideologi yang bertentangan dengan politik kolonial Pemerintah
Haji Mukim
Di satu pihak, dengan pengoperasian kapal api sebagai sarana transportasi, ikut membantu, serta mempermudah dan memperlancar perjalanan calon jama’ah haji Kepulauan Nusantara.
Namun dengan adanya peraturan-peraturan yang ditetapkan, dinilai sangat memberatkan para calon jama’ah.
Menurut perhitungan, normalnya biaya perjalanan tersebut hanya sekitar f 100. Bukan f 110.
Kemudian penetapan kewajiban memperlihatkan uang kontan f 500 saat akan berangkat, lebih memberatkan lagi.
Memang secara rahasia ada yang memanipulasi dengan menggunakan uang pinjaman.
Namun para peminjam tentunya akan mengambil kesempatan mencari keuntungan.
Jadi meskipun Pemerintah secara resmi telah menyediakan sarana tarnsportasi modern (di zaman itu), tetapi di balik itu semua, segala peraturan yang dikeluarkan menjadikan para calon jama’ah haji harus menyikapinya dengan cara yang bijak.
Salah satu pilihan yang dianggap cukup tepat adalah menjadi “haji mukim.”
Para calon jama’ah yang sudah selesai menunaikan ibadah haji, tidak langsung pulang ke Tanah Air, melainkan bermukim di Mekkah.
Tujuan utamanya adalah memperdalam pengetahuan tentang Islam.