Jemaah Haji Nusantara : Dulu dan Sekarang
Bagi umat Islam, ibadah haji termasuk rukun Islam --wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu.
Jemaah Haji Nusantara : Dulu dan Sekarang
Oleh Prof. Dr. H. Jalaluddin
Mantan Rektor IAIN (UIN) Raden Fatah Palembang
Bagi umat Islam, ibadah haji termasuk rukun Islam --wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu.
Oleh karena itu, sebelum adanya kapal api, para calon jama’ah haji dari Kepulauan Nusantara sanggup menderita berbulan-bulan dalam perahu layar menantang maut.
Dengan menggunakan perahu layar perjalanan laut ini juga harus didasarkan perhitungan peredaran arus laut.
Saat berangkat ke Mekkah, harus bertepatan dengan musim arus Australia Barat, yang mengalir menuju Selat Bab el- Mandeb (Afrika Utara).
Sebaliknya, saat pulang bertepatan dengan arus Bab el- Mandeb yang mengalir kawasan Timur.
Dengan bantuan aliran arus utama Samudra Hindia ini perahu layar agak terbantudan lebih lancar.
Semasa itu diperkirakan rata- rata perjalanan memakan waktu sekitar enam bulan, pergi- pulang.
Dengan dibekali tekad dan nilai-nilai keimanan yang kokoh, para calon jama’ah tidak gentar.
Sampai-sampai merekapun rela mati, bahkan tidak sedikit yang ingin terkubur di Tanah Suci.
Banyak di antara mereka yang menabung selama puluhan tahun, agar mampu melaksanakan kewajiban agama ini.
Setelah kapal api beroperasi, sekitar pertengahan abad ke-19, jumlah calon jama’ah haji Nusantara semakin bertambah.
Pada tahun 1859 jumlah ini sudah mencapai sekitar 2.000 orang.
Kemudian setelahTerusan Suez dibuka tahun 1869 terjadi peningkatan secara cepat.
Pada tahun 1927, jumlah calon jama’ah haji menjadi 52.412 orang.
Untuk mengurus dalam pengaturan dan pengawasan “warga negaranya“ di Tanah Suci ini,maka Pemerintah Hindia Belanda membuka Konsulatnya di Jeddah, dan tahun 1945 ditingkatkan menjadi Kedutaan (Akib Suminto, 1985).
Sebagai penjajah,pihak Belanda berusaha untuk membatasiusaha mengerjakan rukun Islam kelima ini dengan mengeluarkan berbagai peraturan.
Pada tahun 1825 calon jama’ah dari pulau Jawa diwajibkan membayar f 110 ( seratus sepuluh gulden ) untuk memperoleh izin berangkat.
Tahun 1831 ditetapkan, bahwa calon- calon jama’ah haji yang tidak membayar jumlah ini sebelum berangkat, akan diwajibkan membayar dua kali lipat sekembali mereka dari Mekkah nantinya.
Peraturan ini dicabut pada tahun 1852, dan diganti tahun 1859.
Dalam peraturan ini setiap calon jama’ah hajiharus dapat membuktikan bahwa mereka kuat dalam soal keuangan.
Selain untuk biaya ibadah haji,juga buat keperluan famili- famili dalam tanggungan mereka yang tinggal.
Calon jama’ah diharuskan memperlihatkan kepada Regen ( Bupati ) , ataupun pada pegawai petugas di kapal yang akan membawanya ke Mekah.
Sekurang- kurangnyamembawa uang kontan sejumlah f 500 untuk keperluan pelayaran.
Setelah kembali dari menunaikan ibadah haji, juga harusdiujimengenai soal- soal Mekkah dan Islam.
Bila mereka lulus dari ujian ini, barulah dianggap berhak untuk menggunakan “haji” di depan nama mereka.
Peraturan tahun 1859 ini dicabut tahun 1902, tetapi keharusan memperlihatkan uang kontan f 500 bagi setiap calon jama’ah baru dihapus tahun 1905 (Deliar Noer, 1985 ).
Segala bentuk peraturan yang dikeluarkan dimaksud terkait dengan keperluan politik kolonial Pemerintah Hindia Belanda.
Untuk kepentingan tersebut mereka mendirikan Kantoor voor Inlandsche Zaken, yang tugasnya memberi saran kepada Pemerintah kolonial Belanda tentang masalah-masalah pribumi.
Dalam masalah ibadah haji ke Mekkah, kantor ini berusaha meyakinkan penduduk tentang undang-undang dan peraturan yang ada, agar tidak terjadi penyimpangan.
Melalui kerjasama dengan perusahaan pelayaran mereka membuat rencana pelayaran, melalukan penelitian tentang kesehatan jama’ah selama perjalanan haji, mengurus harta mereka yang meninggal dalam menunaikan ibadah haji.
Penunjukan pimpinan haji juga ditentukan oleh Kantor ini, dan didasarkan pada kelakuan baik, serta bebas dari ideologi yang bertentangan dengan politik kolonial Pemerintah
Haji Mukim
Di satu pihak, dengan pengoperasian kapal api sebagai sarana transportasi, ikut membantu, serta mempermudah dan memperlancar perjalanan calon jama’ah haji Kepulauan Nusantara.
Namun dengan adanya peraturan-peraturan yang ditetapkan, dinilai sangat memberatkan para calon jama’ah.
Menurut perhitungan, normalnya biaya perjalanan tersebut hanya sekitar f 100. Bukan f 110.
Kemudian penetapan kewajiban memperlihatkan uang kontan f 500 saat akan berangkat, lebih memberatkan lagi.
Memang secara rahasia ada yang memanipulasi dengan menggunakan uang pinjaman.
Namun para peminjam tentunya akan mengambil kesempatan mencari keuntungan.
Jadi meskipun Pemerintah secara resmi telah menyediakan sarana tarnsportasi modern (di zaman itu), tetapi di balik itu semua, segala peraturan yang dikeluarkan menjadikan para calon jama’ah haji harus menyikapinya dengan cara yang bijak.
Salah satu pilihan yang dianggap cukup tepat adalah menjadi “haji mukim.”
Para calon jama’ah yang sudah selesai menunaikan ibadah haji, tidak langsung pulang ke Tanah Air, melainkan bermukim di Mekkah.
Tujuan utamanya adalah memperdalam pengetahuan tentang Islam.
Berbagai disiplin ilmu dipelajari seperti bahasa Arab (lughah), ilmu- ilmu Al- Qur’an, ilmu-ilmu Hadits, Fiqh, Ushul Figh, dan ilmu- ilmu terapan lainnya.
Jangka waktu bermukim di Kota Suci ini beragamam.
Mulai dari setahun hingga belasan tahun.
Oleh karena itu, para jama’ah haji mukim ini memiliki kualitas keilmuan yang mumpuni.
Bagi haji mukim ini, makna perintah istitha’ah(kesanggupan) dalam kewajiban menunaikan ibadah haji, bukan hanya terbatas pada kesanggupan biaya dan kesehatan jasmani dan rohani, melainkan juga penguasaan keilmuan.
Oleh sebab itu, sebelum berangkat, para calon jama’ah sudah mempersiapkan diri selama dua atau tiga tahun di kampung halamannya.
Jadi selama mukim ( menetap ) di Mekkah, mereka berusaha meningkatkan, memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang Islam dengan berbagai macam disiplin ilmunya.
Kemampuan yang dimiliki oleh para haji mukim ini pula yang menempatkan mereka pada kedudukan yang terhormat, saat kembali ke Tanah Air.
Rata-rata para haji mukim ini didaulat olehmasyarakat sebagai guru dalam ilmu-ilmu keislaman.
Melalui pengalaman dan latar belakang keilmuan mereka, haji mukim ini mampu menempatkan dir mereka sebagai sosok pemimpin kharismatis yang menjadi teladan dalam kehidupan masyarakatnya.
Mereka selalu ditokohkan dalam setiap aktivitas keagamaan seepanjang tahun.
Mulai dari yang bersifat ibadah wajib maupun sunnah.
Berbagai upacara tradisional juga mereka masukkan ke dalam kemasan nilai-nilai ajaran Islam.
Kemasan dimaksud antara lain seperti upacara pernikahan, akikah, khitanan, pembacaan do’a, khataman Al- Qur’an, maupun perayaan hari- hari besar Islam.
Para haji mukim ini ternyata mampu menempatkan diri mereka dalam sosok al- ‘ulama warasat al- anbiya” ( ulama sebagai pewaris para Nabi ),
Dengan kemampuan dan status yang dimiliki, maka rata- rata para haji mukim ini dikenal dengan sebutan “ulama yang siap pakai.”
Mereka bisa dan mampu menempatkan diri sebagai pemimpin dalam setiap penyelenggaraan kegiatan keagamaan.
Kapan saja dan dimana saja. Mereka tak pernah menolak, atau mencari- cari alasan untuk menghindar.
Pokoknya dijamin semua ditanggung beres.
Lancar acaranya dan benar pelaksanaannya.
Semuanya diterima masyarakat.
Sosok seperti ini dalam tamsil olehmasyarakat Melayu dibaratkan dengan “beras basah” sebagai bahan baku makanan pokok, beras dapat diolah menjadi berbagai macam jenis kuliner, antara lain, nasi, ketupat, lontong, bubur atau berbagai ragam kudapan.
Di semua jenis kuliner ini, beras basah dapat digunakan tanpa memerlukan olahan yang rumit.
Setelah masa berlalu, tampaknya kondisi yang dihadapi jama’ah haji sudah mengalami perubahan.
Para calon jama’ah terkesan hanya membekali diri dengan “istitha’ah” (kesanggupan) sebatas biaya dan keseehatan.
Sementara kesanggupan yang terkait dengan “ilmu “ boleh dikatakan hampir terabaikan sama sekali.
Para calon jama’ah haji masa kini membekali diri dengan keilmuan hanya selama beberapa bulan, menjelang keberangkatan mereka ke Tanah Suci.
Itupun cuma sekedarnya. Oleh karena itu, bukanlah suatu keanehan bila banyak juga di antara calon jama’ah haji ini cuma bisa melafazkan do’a-do’a yang terkait bacaan dalam ibadah haji ini melalui “ejaan “ hurup (aksara) Latin.
Sama sekali “buta hurup “ Hijaiyyah. Hurup Kitab Suci mereka.
Dengan kemampuan yang terbatas dan “ sangat “ minim ini, sulit bagi mereka yang memiliki kondisi seperti ini mampu memahami, menangkap, maupun menghayati nilai- nilai filosofis yang terkandung dalam ibadah haji itu sendiri.
Menyimak kondisi para jama’ah haji di Tanah Air, akhir- akhir ini , tampaknya apa yang diprediksi oleh Rasul Allah Saw. secara berangsur sudah mulai terbukti kebenarannya.
Dalam sabdanya, beliau mengungkapkan :“Akan datang suatu masa yang dialami manusia, yaitu : orang kaya dari umatku yang melaksanakan ibadah haji ( niatnya) karena wisata, orang kalangan menengah (niatnya) karena berdagang, orang kalangan ahli pengetahuan ( niatnya ) karena riya’ dan sum’ah, dan kaum fakir miskin di antara mereka ( niatnya ) karena untuk meminta minta (HR. Ibn Jauzy).
Gelar haji selalu diterakan di depan nama, setelah pulang berhaji. Gelar “haji “ ini menjadi semakin penting, di masa- masa Pilkada dan Pileg.
Namun setelah terpilih predikat tersebut mulai “ berguguran”.
Bagi yang calon yang terpilih hurup, setelah menduduki jabatan, tak jarang pula “hurup H “ yang berada di depan nama digeser ke belakang.
Manakala sudah bersinggungan dengan proyek pembangunan, hurup H ini dimunculkan dalam kemasan “tiga sekawan”:
Halal, Haram, Hantam.” Mau tahu ? Simak saja daftar para pejabat yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hampir setiap periode dipastikan termuat nama- nama pelakupenyandang “ Haji”