Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan Rakyat dan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 (Pembajakan Terhadap Primus Inter Pares)
Pada saat baru satu hari Indonesia merdekaan sebagai negara 18 Agustus 1945 secara aklamasi telah menghadirkan Soekarno Hatta
Dalam artian bukan manusia yang harus diatur dan dipaksa sedemikian rupa dalam suatu skema hukum, dalam artian sistem itu harus diubah.
Sebagaimana dituliskan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa "hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya.
" Jika dihubungkan dengan perumusan norma yang terkandung pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagai hukum dalam Pilpres, semestinya harus dapat diubah dalam rangka memecahkan permasalahan ketidakadilan tersebut.
Disadari bahwa kekuatan hukum terletak pada masyarakat, karena masyarakat memiliki kekuatan otonom untuk melindungi dan menata dirinya sendiri.
Sementara itu, masyarakat Indonesia begitu membutuhkan pilihan pasangan calon pada Pilpres yang dapat lebih matang dalam menyesuaikan dengan perjalanan negara, kebutuhan masyarakat, dan perkembangan zaman/peradaban.
Namun, hukum Pilpres di Indonesia hanya menjadi suatu produk yang teknis dan kaku sehingga kehilangan perasaan dan sensitivitasnya terhadap keinginan publik.
Padahal, hukum harus dipandang sebagai suatu institusi yang ikut serta berempati pada persoalan pelik masyarakat.
Dalam pandangan hukum progresif, hukum adalah suatu proses untuk menjadi (law as a process, law in the making).
Hukum bukan institusi yang final, melainkan ditentukan oleh kemampuannya mengabdi kepada manusia.
Oleh karena itu, hukum Pilpres pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut secara progresif hendaknya dapat diubah, yakni dengan memperbolehkan calon pasangan dari perseorangan yang tidak harus didukung oleh partai politik, namun dengan persyaratan lain seperti harus mendapatkan dukungan minimal tertentu dari seluruh daerah di Indonesia agar si primus inter pares dapat tampil sebagai peserta dalam Pilpres.
====