Kedaulatan Rakyat

Kedaulatan Rakyat dan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 (Pembajakan Terhadap Primus Inter Pares)

Pada saat baru satu hari Indonesia merdekaan sebagai negara 18 Agustus 1945 secara aklamasi telah menghadirkan Soekarno Hatta

Editor: Salman Rasyidin
ist
Dr. Muhamad Erwin, SH, MHum 

2. Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat;

3. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif; dan

4. Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan.

Jika dihubungkan dengan UUD 1945: Prinsip pertama dari sistem pemerintahan presidensial ini telah dimuat pada Pasal 4 UUD 1945; Prinsip keduanya dimuat pada Pasal 6A ayat (1) UUD 1945.

Sementara prinsip ketiganya telah berada pada kekuasaan DPR sebagaimana diatur pada Pasal 20 ayat (1); dan prinsip keempatnya terdapat pada Pasal 7C UUD 1945.

Fokus terhadap Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat" --kemudian terikat dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang mengharuskan pasangan tersebut haruslah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.

Lantas, bagaimana jika kedua pasal ini ditarik ke hakikat amanat sila keempat Pancasila, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan" melalui penafsiran filosofis?

Adapun landasan ontologis dari "Kerakyatan", yakni terletak pada kedaulatan rakyat. Jika ditelusuri lagi, kedaulatan rakyat tertuju pada makna rakyat berdaulat yang hakikatnya terwujud pada "pengutamaan kepentingan rakyat".

Jadi, ontologi dari "kerakyatan" adalah "pengutamaan kepentingan rakyat". Kemudian ontologis pada "yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan".

"Dipimpin oleh Hikmat" hakikatnya terletak pada makna "dipimpin dengan kekuatan akal dan kekuatan hati". Dengan dipimpin melalui kekuatan akal dan kekuatan hati tersebut, maka akan membawa kepada hakikat untuk mengorek "kebijaksanaan".

Sementara makna ontologis pada "kebijaksanaan" itu sendiri yakni untuk menunjuk kepada "kebenaran yang telah mengandung pengertian yang mendalam".

Berikutnya pada makna ontologis "dalam Permusyawaratan/Perwakilan".

Pada frasa "dalam permusyawaratan" ditekankan bahwa dalam pola pengambilan keputusan adalah dengan musyawarah. Musyawarah memiliki perbedaan prinsip dengan demokrasi.

Musyawarah adalah warisan nilai-nilai luhur bangsa, sementara demokrasi adalah ajaran Barat yang jauh dari pluralisme masyarakat.

Dalam musyawarah tidak akan terjadi halalisasi yang haram dan haramisasi yang halal.

Halaman
1234
Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved