Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan Rakyat dan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 (Pembajakan Terhadap Primus Inter Pares)
Pada saat baru satu hari Indonesia merdekaan sebagai negara 18 Agustus 1945 secara aklamasi telah menghadirkan Soekarno Hatta
Musyawarah berdiri di atas kekuatan akal yang berupa argumen, sementara demokrasi bergantung pada mayoritas suara yang berdiri di atas kepentingan, bukan kebutuhan.
Pada musyawarah terdapat peluang yang sama di antara si kaya dan si miskin untuk menjadi pemimpin, tidak semata bergantung pada faktor kekuatan ekonomi, sedang demokrasi melalui sistem "one man one vote" (satu orang satu suara) telah mereduksinya, tercipta peluang besar untuk menjadi pemimpin dengan "membeli" suara.
Kemudian bagaimana untuk memberikan peluang bagi bangsa Indonesia baik yang kaya ataupun yang miskin untuk bermusyawarah dalam menentukan arah dalam mengelola negara ini!.
Jawabnya telah disepakati pada akhir kalimat akhir sila keempat yakni pada frasa "perwakilan".
Secara falsafati, kesepakatan tersebut tertuju pada kehendak terikat untuk mengkuasakan pada kuasa perwakilan yang disebut sebagai lembaga perwakilan (salah satunya ialah legislatif).
Lembaga perwakilan itu adalah berasal dari partai-partai politik.
Akhirnya dapatlah kita kumpulkan sari-sari buah falsafati dari para pendiri negara kita bahwa apa ontologis yang terkandung di balik Sila "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan" adalah usaha bersama bangsa Indonesia atas dasar kepemilikan bersama yang diselenggarakan dengan pengertian yang mendalam untuk mencapai kebenaran, melalui musyawarah yang diwakilkan pada lembaga perwakilan.
Selintas tidak ada yang salah dalam hubungannya di antara Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 6A ayat (2) serta Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan falsafati Sila Keempat Pancasila.
Di mana pesan "kerakyatan" tertuju pada Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menghendaki diadakannya pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Sementara pesan "perwakilan" tertuju pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menghendaki pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.
Akan tetapi, jika direnungkan secara mendalam pada tataran implementasinya, apakah partai politik ataupun gabungan partai politik sebagai perwakilan rakyat tersebut selama ini memang telah menggunakan kekuatan akal dan hati dengan pengertian yang mendalam dalam bentuk kebenaran untuk menetapkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden setiap menjelang Pilpres?
Jika partai politik ataupun gabungan partai politik itu memang berdiri secara hikmat/kebijaksanaan pada Sila Keempat Pancasila, lantas mengapa setiap menjelang Pilpres selama ini sepertinya tidak mampu lagi menghadirkan capres dan cawapres sekaliber Soekarno-Hatta untuk memimpin negara sebesar ini?
Padahal, rakyat begitu mendambakan agar Parpol ataupun gabungan Parpol untuk dapat menampilkan calon pemimpin bangsa yang terbaik dari yang baik di negeri ini ( primus inter pares).
Tawaran HukuProgresif
Jika terbentur dengan sistem yang membuat bangsa tidak dapat menampilkan yang terbaik untuk memimpinnya, maka pada titik ini hukum harus dipandang sebagai suatu alat bagi manusia untuk mencapai apa yang diharapkan dan dicita-citakan oleh manusia itu sendiri.