Mimbar Jumat

Tiga Masjid Pondasi Peradaban Islam

Masjid Al-Haram adalah masjid paling kuno. Al-Qur’an menyebutnya sebagai rumah pertama yang dibangun di bumi.

Editor: Yandi Triansyah
Dokumen Pribadi
H. Firdaus, SH. Ketua DPW BKPRMI Sumsel 

Oleh: H. Firdaus, SH.
Ketua DPW BKPRMI Sumsel

Masjidil Haram

Masjid Al-Haram adalah masjid paling kuno. Al-Qur’an menyebutnya sebagai rumah pertama yang dibangun di bumi. Bukti arkeologis tentang situs kuno ini dikuatkan dengan peninggalan bangunan batu di Petra (Yordania) dan Mada’in Shaleh.

Sebagai situs awal peradaban, Nabi Ibrahim hanya melanjutkan proses peninggian pondasi bersama Ismail as. Secara logika, padang gurun bukan tempat ideal untuk didiami. Namun fakta ilmiah mengungkap bahwa wilayah itu dulunya subur.

Kegersangan yang kini mendominasi justru memiliki makna spiritual tertinggi: bumi tidak memiliki arti apa-apa.

Padang Mahsyar kelak adalah tanah datar tanpa perlindungan. Maka sandaran sejati hanyalah pertolongan Allah.

Masjidil Haram dikampanyekan dengan keutamaan luar biasa. Haji mabrur, balasannya hanya surga.Shalat di Masjidil Haram lebih utama 100.000 kali. Siapa saja yang memasukinya menjadi aman.

Bangunan kubus itu menjadi magnet peradaban manusia lintas generasi. Secara simbolis, Ka'bah menyimpan teka-teki matematis yang dijelaskan ilmuwan seperti Dr. Fahmi Basya. Ka'bah memiliki daya tarik spiritual tak terbantahkan.

Ada yang rela antre 20 tahun demi bisa ke sana. Namun Al-Qur’an memberi kejutan inspiratif: orang yang sekadar mengurus dan memakmurkannya masih kalah derajat dengan mereka yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah (At-Taubah 19–20).

Di akhir zaman, bangunan itu akan hancur. Tidak ada lagi tawaf. Ka'bah hanya akan dikunjungi sebagai situs sejarah.

Sebelum semua terjadi, kita dapat mengambil segunung hikmah darinya. Seperti Zamzam yang tak pernah kering, kemuliaan Ka’bah tak pernah surut. Bagi para remaja masjid, belajarlah dari Ibrahim: bagaimana ia membangun, berdoa, menjaga kesucian, dan menyusun manasik. Semua tertulis dalam Al-Qur’an.

Masjid Al-Aqsha

Kisahnya sepanjang seribu satu malam, teruntai dari zaman ke zaman. Dibangun 40 tahun setelah Masjidil Haram, hilang saat banjir Nuh, dibangun kembali oleh Daud dan Sulaiman as. Hancur oleh Nebukadnezar, dibangun oleh Cyrus, dihancurkan Titus, lalu dibangun oleh Umar bin Khattab.

Sejak itu ia bertahan hingga kini. Yahudi tidak mengakui Masjid Al-Aqsha dan lebih memilih Tembok Ratapan. Sejarahnya dipenuhi darah para martir: Nabi Yahya, Zakariya terbunuh, Nabi Isa selamat dari pembunuhan. Maka Palestina disebut jantung dunia: siapa menguasainya, menguasai peta global.

Masjid Al-Aqsha memiliki akar kuat dalam Islam yaitu tempat Isra’ Mi’raj.disebut dalam Al-Qur’an, nilai shalat 1000 kali lipat, kiblat pertama Nabi SAW, diabadikan di Madinah (Masjid Qiblatain). Al-Qur’an tidak hanya menyebut namanya, tetapi juga cara mengelolanya.

Zakariya sebagai marbot masjid, Yahya dan Maryam sebagai remaja masjid. Maryam ditempa dalam mihrab khusus, menjadi wanita terbaik sepanjang masa. Jika Masjidil Haram mengajarkan status dan kesucian, Aqsha mengajarkan pengelolaan, pendidikan, dan karakter penjaga moral umat.

Masjid Nabawi

Masjid ini menjadi titik temu peradaban. Di sinilah terbentuk Piagam Madinah: kesepakatan besar antara komunitas berbeda pandangan, termasuk Yahudi dan Muslim.

Masjid Nabawi bukan hanya tempat ibadah, tetapi pusat pemerintahan, pendidikan, militer, ekonomi, dan sosial. Masjidil Haram adalah lembah air mata. Masjid Al-Aqsha adalah bangunan bergelimang darah.

Masjid Nabawi adalah masjid peradaban. Di Makkah, manasik dimulai dari perjuangan seorang wanita: Hajar. Di Aqsha ada istri Imran dan Maryam. Di Madinah ada pintu khusus perempuan: Bab an-Nisa’ yang masih difungsikan hingga kini. Bukti bahwa Islam tidak menyingkirkan perempuan.

Masjid Al-Haram memiliki Ismail sebagai remaja masjid Aqsha melahirkan Yahya, Isa, dan Maryam.Nabawi membina Abu Hurairah dan para sahabat besar. Inilah fungsi masjid yang sesungguhnya.

Tiga Masjid, Dua Pilihan Mulia

Quran tidak membiarkan kita hanya takjub. Ia menggugah: “Apakah kamu menganggap memberi minum jamaah haji dan mengurus Masjidil Haram sama dengan orang yang beriman, hijrah, dan berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama…” (At-Taubah 19–20).

Dua pilihan mulia, pertama menjadi pengurus masjid dan dimuliakan.atau menjadi orang beriman, berhijrah, berjuang dengan harta dan jiwa—lebih tinggi derajatnya.

Jika kini Islam menjulang megah, ingat: semuanya bermula dari petak tak beratap, lantai berdebu, tanpa jendela. Tempat yang tidak bisa melindungi dari hujan dan angin kencang. Sahabat menyeka kening karena debu menempel saat sujud.

Bahkan orang asing pernah mengencinginya karena dianggap bangunan kosong. 

Namun di situlah para sahabat tinggal, belajar dan disatukan. Masjid Nabawi adalah tempat diajarkan peristiwa langit dan bumi, masa lampau dan masa depan.

Dari petak itu lahir prajurit penakluk dunia. Mereka melihat dunia hanya tempat singgah, lalu menggunakan hidup untuk mempersembahkan karya terbaik kepada Sang Pencipta.

Dari motivasi itulah untaian ajaran Islam sampai ke Nusantara. Dan kini, 1400 tahun setelah petak itu dibangun, kita masih bisa meminum hikmahnya dan menjadikannya bekal hidup.

Dari Masjidil Haram mari belajar tentang tauhid, ketaatan, dan totalitas penghambaan. Ka’bah adalah pusat arah hidup seorang Muslim: semua kembali kepada Allah, bukan kepada dunia.

Di era modern yang penuh hiruk-pikuk ambisi dan kompetisi, Masjidil Haram mengingatkan bahwa kemuliaan tidak selalu terletak pada pusat kota, teknologi, atau kekayaan.

Kadang Allah memilih padang pasir gersang untuk mengajarkan makna ketergantungan total pada-Nya. Dari Masjidil Haram kita juga belajar tentang kesabaran peradaban. 

Ibrahim menunggu puluhan tahun untuk Ismail lahir, lalu membangun Ka'bah, lalu menunggu perintah haji disyiarkan.

Allah mengajarkan bahwa perubahan besar dimulai dari ketaatan kecil yang konsisten. Dari Masjid Al-Aqsha kita belajar tentang istiqamah dalam perjuangan.

Aqsha hancur berkali-kali, berdarah berkali-kali, namun selalu bangkit kembali. Palestina hari ini bukan hanya isu politik, tetapi cermin bahwa harga mempertahankan iman dan identitas sangat mahal.

Aqsha mengajarkan bahwa masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi benteng akidah dan pusat pendidikan karakter.

 Jika kita ingin menyelamatkan umat dari kerusakan moral, maka masjid harus kembali menjadi ruang pembinaan, bukan hanya tempat seremonial.Dari Masjid Nabawi kita belajar tentang peradaban dan kolaborasi.

Nabi SAW tidak membangun istana, tetapi membangun masjid sebagai pusat solusi sosial. Di sanalah lahir inovasi, toleransi, ukhuwah, dan kepemimpinan.

Madinah menjadi kota peradaban karena masjidnya menghimpun berbagai kelompok dan mempersaudarakan mereka. Ini pelajaran besar bagi dunia yang kini terpecah oleh isu suku, politik, dan ideologi

Ibrah terbesar dari tiga masjid, yaitu: Masjid bukan hanya tempat ritual, tetapi pusat transformasi.

Jika masjid hari ini hanya digunakan untuk shalat lima waktu, belum mencapai fungsi hakikinya. Ia harus hidup 24 jam sebagai tempat belajar, diskusi, membina anak muda, menguatkan ekonomi, membantu fakir miskin, hingga menjadi laboratorium peradaban.

Masjid membutuhkan generasi penggerak, bukan hanya penjaga. Di Masjidil Haram ada Ismail. Di Aqsha ada Maryam dan Yahya.

Di Nabawi ada Abu Hurairah dan para sahabat. Hari ini, siapa remaja masjid kita? Apakah mereka hanya sibuk gadget, atau disiapkan menjadi penerus peradaban?

Masjid harus merangkul, bukan menghakimi.Nabi SAW mendidik manusia dari berbagai latar belakang di Masjid Nabawi.

Ada yang miskin, kaya, bekas musuh, mantan pendosa, bahkan non-Muslim datang belajar. Jika masjid hari ini membuat orang takut masuk karena dianggap “tidak pantas”, berarti kita jauh dari teladan Nabawi.

Keempat; Masjid perlu dikelola secara profesional dan visioner. Aqsha memberi teladan bahwa pengurus masjid adalah pendidik dan penjaga akhlak umat.

Takmir masjid harus memahami manajemen, komunikasi, teknologi, bahkan literasi digital untuk menjangkau generasi muda.

Masjid harus menjadi pusat solusi zaman, bukan sekadar simbol nostalgia.Dunia kini menghadapi krisis moral, keluarga, identitas, ekonomi, lingkungan.

Jawaban dari semua itu pernah lahir dari masjid. Saatnya masjid kembali menjadi pusat penyembuhan problem zaman.

Tiga masjid ini bukan sekadar situs sejarah. Mereka adalah peta perjalanan peradaban Islam: pertama; Masjidil Haram: fondasi iman. Kedua Masjid Al-Aqsha: ujian perjuangan.

Ketiga Masjid Nabawi: puncak peradaban. Jika kita ingin mengembalikan kejayaan umat, mulailah kembali dari masjid. Bukan hanya membangun fisiknya, tetapi menghidupkan ruhnya.

Bukan hanya mengejar kemegahan bangunannya, tetapi menghidupkan manusia di dalamnya.

Bukan hanya mengurus kegiatan rutin, tetapi melahirkan generasi yang beriman, berilmu, dan berani menegakkan kebenaran.Karena dari petak masjid sederhana di Madinah, dunia ditaklukkan.

Dan dari masjid-masjid kita hari ini, masa depan umat bisa kembali gemilang.Tiga masjid ini adalah cermin. Pertanyaannya: Apakah kita hanya kagum…atau siap meneladani dan menghidupkannya? (*)

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved