Opini

Perempuan: Separuh Nafas Ekonomi Bangsa

R.A. Kartini berpesan, habis gelap terbitlah terang. Kini, terang itu adalah kesetaraan yang nyata: kesempatan, penghargaan, dan upah yang adil.

Editor: tarso romli
handout
Shinta Mahaputri Hakim 

SETIAP pagi, jutaan perempuan Indonesia bangun lebih awal dari matahari. Mereka menyiapkan sarapan untuk keluarga, merapikan seragam anak, menyiapkan bekal, lalu bergegas menuju tempat kerja.

 Perjalanan mereka beragam: ada yang melangkah ke ruang kelas sebagai guru, ada yang memasuki ruang produksi sebagai buruh pabrik, ada yang bertugas di rumah sakit sebagai perawat, ada pula yang duduk di balik meja kantor sebagai aparatur negara.

Namun, di balik kesibukan itu, ada satu kenyataan pahit yang terus berulang: rata-rata upah perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki, meskipun tingkat pendidikan dan posisi pekerjaan sejajar.

Data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2024 menunjukkan, rata-rata upah bersih pekerja laki-laki mencapai Rp3.300.563,- per bulan.

Sementara itu, perempuan hanya menerima Rp2.572.012,- per bulan. Artinya, perempuan hanya memperoleh sekitar 78 persen dari upah laki-laki. Dengan kata lain, rata-rata gaji perempuan 28 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Angka ini mengonfirmasi kenyataan yang telah lama dirasakan, sekaligus memperlihatkan bahwa kesenjangan gender dalam dunia kerja masih nyata.

Fenomena ini bukan sekadar soal angka, tetapi cermin bagaimana pekerjaan perempuan baik yang terlihat maupun tersembunyi sering kali tidak mendapatkan pengakuan yang setara.

Menurut hasil Sakernas BPS 2024, Jumlah perempuan usia 15 tahun ke atas yang bekerja mencapai 56,2 juta jiwa, Namun, secara nasional, upah mereka masih stagnan di bawah laki-laki. Dalam sektor informal, ketimpangannya bahkan lebih lebar.

Perempuan yang bekerja sebagai buruh tani, pekerja rumah tangga, atau pedagang kecil masih jauh dari perlindungan upah minimum.

Di sisi lain, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja semakin meningkat. Pada 2024, data BPS mencatat Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan mencapai 55,41 persen. Artinya, lebih dari separuh perempuan Indonesia kini turut aktif dalam kegiatan ekonomi.

Bahkan, 50 persen tenaga kerja negeri ini diisi oleh perempuan, yang mana peran mereka tidak hanya sebagai seorang pekerja, tetapi juga seorang ibu, istri, dan pengelola rumah tangga yang menjadi fondasi utama kehidupan keluarga.

Kontribusi perempuan juga tampak nyata di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Data BPS 2021 mencatat, lebih dari 60 persen pelaku UMKM adalah perempuan. Perempuan berperan sebagai penggerak ekonomi keluarga, membuka lapangan kerja, sekaligus penopang ketahanan ekonomi nasional.

Dengan kontribusi sebesar itu, wajar bila tuntutan terhadap kesetaraan upah bukan sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak.

Kondisi pembangunan perempuan dapat dilihat melalui Indeks Pembangunan Gender (IPG). Dalam periode 2021–2024, IPG Indonesia menunjukkan tren positif.

Pada 2021 angkanya tercatat 91,27, meningkat menjadi 91,63 pada 2022, lalu naik menjadi 91,85 pada 2023, dan bertahan di angka yang sama pada 2024.

Peningkatan ini menandakan adanya kemajuan, meskipun masih menyisakan celah yang perlu ditutup untuk mencapai kesetaraan yang lebih utuh.

Mengapa kesenjangan ini terjadi? Ada banyak faktor yang saling bertaut.

Pertama, perempuan lebih sering memilih pekerjaan paruh waktu atau fleksibel demi menyeimbangkan peran ganda sebagai ibu, istri, sekaligus pekerja karir. Konsekuensinya, mereka kerap dianggap kurang produktif dibanding laki-laki.

Kedua, stereotip sosial yang melekat masih menempatkan perempuan pada sektor-sektor tertentu, seperti pekerjaan administrasi, pendidikan anak usia dini, atau layanan rumah tangga, yang secara struktural memiliki rata-rata upah lebih rendah.

Selain itu, ketidaksetaraan juga dipengaruhi keterbatasan akses terhadap pelatihan, kesempatan promosi, serta jabatan strategis. Tidak sedikit perusahaan yang masih ragu menempatkan perempuan di posisi kepemimpinan dengan alasan potensi cuti melahirkan atau tanggung jawab keluarga.

Faktor-faktor ini membentuk ketimpangan struktural yang sulit ditembus tanpa intervensi kebijakan yang berpihak.

Dampak ketimpangan ini tidak hanya berhenti pada perempuan pekerja, tetapi merembet hingga ke rumah tangga dan masyarakat. Upah yang lebih rendah berarti daya beli perempuan berkurang, kemampuan menabung lebih kecil, dan kesempatan berinvestasi untuk pendidikan anak terbatas.

Padahal, banyak penelitian menunjukkan bahwa ketika perempuan memiliki pendapatan yang layak, manfaatnya langsung dirasakan keluarga: gizi anak membaik, tingkat pendidikan lebih tinggi, hingga kualitas hidup keluarga meningkat.

Baca juga: Ingin Bongkar Kasus Korupsi di Wilayah Sumsel, Oknum PNS Way Kanan Lampung Jadi Jaksa Gadungan

Karena itu, sudah saatnya pemerintah dan dunia usaha bergandeng tangan. Perempuan butuh kepastian upah yang adil, kesempatan berkembang, dan dukungan di tempat kerja. Hal-hal sederhana seperti ruang laktasi, jam kerja yang lebih fleksibel, atau program pelatihan bisa menjadi langkah nyata untuk meringankan beban. 

Dengan begitu, perempuan bisa bekerja lebih tenang tanpa harus meninggalkan peran pentingnya di keluarga.

Namun, perjuangan menuju kesetaraan upah tidak bisa hanya dibebankan pada perempuan itu sendiri. Laki-laki juga memegang peran penting dalam mendorong perubahan. Dukungan dari pasangan, keluarga, dan lingkungan kerja dapat membantu perempuan lebih percaya diri meniti karier.

Ketika laki-laki ikut serta dalam pembagian peran domestik, maka beban ganda yang selama ini dipikul perempuan akan semakin ringan. Kesadaran kolektif inilah yang akan mempercepat lahirnya budaya kerja yang inklusif.

Pada akhirnya, kesenjangan upah bukan hanya isu ekonomi, melainkan juga isu moral dan sosial. Kesetaraan gaji akan menciptakan ekosistem kerja yang lebih sehat, mengurangi diskriminasi, serta menumbuhkan rasa keadilan.

Lebih dari itu, memberikan upah yang setara berarti mengakui nilai dan jerih payah perempuan sebagai bagian integral dari kemajuan bangsa. Indonesia hanya bisa melangkah maju dengan kokoh bila seluruh warganya, baik laki-laki maupun perempuan, berdiri di atas pijakan yang sama.

Meski berbagai keterbatasan menghalangi, perempuan Indonesia tetap menunjukkan ketangguhan. Mereka tidak berhenti bekerja, belajar, dan tumbuh. Ada guru yang mengajar dengan penuh dedikasi meskipun harus pulang larut dan tetap mengurus rumah tangga.

Ada buruh pabrik yang tetap tersenyum meski upahnya belum sepadan dengan tenaga yang dikeluarkan. Ada perawat yang merawat pasien tanpa lelah, meski kadang hak-haknya diabaikan. Kisah-kisah ini nyata, dan menjadi bukti bahwa perempuan bukan hanya bertahan, tetapi juga berkembang.

Ketika berbicara tentang pembangunan berkelanjutan, kita tidak bisa hanya mengandalkan tenaga kerja laki-laki. Bonus demografi hanya akan menjadi peluang semu jika separuh penduduk, yakni perempuan, tidak mendapatkan akses, perlindungan, dan upah yang setara.

Kesetaraan upah bukan semata soal ekonomi. Ia menyangkut martabat, keadilan, dan pengakuan. Sebuah bangsa tidak bisa mengaku adil bila masih membiarkan separuh warganya bekerja lebih keras untuk hasil yang lebih kecil.

Perempuan tidak meminta perlakuan istimewa. Mereka hanya menuntut hak yang sama, kesempatan yang setara, dan penghargaan yang layak.

IPG yang terus membaik memberi harapan, tetapi angka itu hanya bermakna jika diikuti langkah konkret untuk mempersempit jurang kesenjangan. Upah setara akan mendorong produktivitas, memperkuat ekonomi keluarga, dan pada akhirnya meningkatkan daya saing bangsa.

Ketika dunia kerja memberi ruang yang adil bagi perempuan, semua pihak akan diuntungkan. Perempuan mampu lebih produktif, keluarga lebih sejahtera, dan masyarakat lebih maju.

Saat kita membicarakan masa depan Indonesia yang berkeadilan, kita perlu mengingat satu hal: kemajuan bangsa dapat diukur dari bagaimana ia memperlakukan kaum perempuannya.

Perempuan Indonesia telah membuktikan diri sebagai tulang punggung pembangunan. Kini, giliran negara, dunia usaha, dan masyarakat luas untuk memastikan bahwa kerja mereka tidak lagi dipandang sebelah mata. Karena ketika perempuan diberi kesempatan yang setara, seluruh bangsa akan tumbuh bersama.

R.A. Kartini berpesan, habis gelap terbitlah terang. Kini, terang itu adalah kesetaraan yang nyata: kesempatan, penghargaan, dan upah yang adil.

Perempuan Indonesia telah membuktikan diri sebagai tiang bangsa. Saat hak mereka dihormati sepenuhnya, seluruh masyarakat akan tumbuh bersama, lebih adil, sejahtera, dan berkemajuan, menuju Indonesia yang benar-benar merdeka lahir dan batin. (*)

Simak berita menariklainnya di sripoku.com dengan mengklik Google News.

Baca juga: TAMPANG Dede Pria Berdomisili di Plaju Palembang Pelaku Perampokan yang Habisi Nyawa IRT di Jambi

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved