Mimbar Jumat
Khutbah Jumat yang Terabaikan: UP Refleksi Terhadap Fenomena Keberagamaan di Era Digital
DI ERA digital saat ini, interaksi sosial masyarakat mengalami transformasi yang signifikan. Menurut laporan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Atas dasar niat inilah perbuatan tersebut dihukumi, berpahala atau tidak, berdosa atau tidak, bersalah atau tidak, dan lain sebagainya (Muhammad Az-Zuhaili, al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah wa Tatbiqatuha fi al-Madzahib Al-Arba‘ah, Damaskus: Dar al-Fikr, 2006, J. I, 63-64).
Dengan demikian, kaidah ini menggarisbawahi bahwa niat, apalagi dalam beribadah, akan menentukan kualitas ibadah itu. Meskipun seseorang tidak berkata-kata ketika Khatib sedang menyampaikan khutbah, jika hati dan niatnya dialihkan kepada hal-hal lain, maka itu juga termasuk berkata-kata dalam konteks tidak langsung.
Meskipun penggunaan gadget, bermain game, atau berinteraksi di media sosial tidak secara eksplisit dilarang dalam al-Qur'an maupun hadits, melalui kaidah Ushuliyyah ini, dapat dikemukakan hukum terkait fenomena tersebut.
Situasi mendengarkan khutbah dapat diilustrasikan dengan situasi belajar di kelas, di mana interaksi digital yang mengganggu konsentrasi dapat berdampak negatif pada proses belajar.
Dalam konteks ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun secara teknis tidak ada larangan, dampak dari tindakan tersebut terhadap kualitas ibadah perlu dipertimbangkan. Dengan mempertimbangkan dampak dari interaksi digital terhadap konsentrasi, seseorang dapat lebih menghargai pentingnya menjaga fokus saat beribadah.
Oleh karena itu, perlu disadari bahwa keberagamaan tidak hanya diukur dari kehadiran fisik di masjid, tetapi juga dari kualitas kehadiran spiritual. Ketika hati dan fisik lebih terhubung dengan dunia maya daripada mendengarkan khutbah, hal ini sebenarnya menjauhkan diri dari nilai-nilai spiritual yang seharusnya dipegang teguh.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam untuk tetap menjaga integritas dan kualitas keberagamaan di tengah derasnya arus informasi. Kesadaran beragama diharapkan dapat meningkat seiring dengan kemajuan teknologi. Masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan media sosial dan teknologi lainnya sebagai sarana untuk memperdalam pemahaman agama, bukan sebagai distraksi.
Pesan Rasulullah SAW tentang pentingnya mendengarkan khutbah hendaknya dipahami secara komprehensif, bukan hanya dipahami secara literal sebatas tidak berkata-kata atau berkomunikasi dengan orang lain. Momen khutbah Jumat seharusnya dijadikan sebagai waktu untuk merenung, belajar, dan memperbaiki diri. Dalam konteks ini, penting bagi setiap individu untuk menanamkan niat yang kuat dan menghilangkan segala bentuk distraksi agar dapat menyerap pesan spiritual yang disampaikan oleh Khatib.
Akhirnya, di tengah perkembangan teknologi yang pesat, umat Islam diharapkan mampu menyeimbangkan antara kemajuan teknologi dan kewajiban beragama. Dengan memahami dampak dari interaksi digital terhadap kualitas ibadah, integritas spiritual dan optimalisasi pengalaman beribadah kita dapat terjaga. Semoga kita semua diberikan kekuatan untuk menjalani hidup ini dengan penuh kesadaran akan nilai-nilai spiritual yang hakiki. Aamiin. (*)
Toleransi dan Pendidikan Agama Islam, Menjaga Harmoni dalam Kehidupan Berbangsa |
![]() |
---|
Serukan Aspirasi Tanpa Anarki Pesan Nabi untuk Penduduk Negeri |
![]() |
---|
Refleksi Ruhani di Bulan Merdeka, Memaknai Kebebasan Jiwa saat Tidur |
![]() |
---|
Spritualitas Semu: Fenomena Beragama di Era Modern |
![]() |
---|
Mengingat Allah Itu Bukan Sekadar Menyebut |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.