Opini

Indonesia Membutuhkan Pendidikan Adab atau Pendidikan Karakter?

Konsep pendidikan ‘adab memiliki dasar, proses, dan tujuan yang berbeda dengan dasar, proses, dan tujuan pendidikan karakter.

Editor: tarso romli
handout
Abdurrahmansyah-guru besar pengembangan kuruikulu, Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang 

Pengantar

JUDUL di atas mempertanyaan penggunaan dua istilah konsep (concept terminology) yakni konsep tentang pendidikan ‘adab dan konsep tentang pendidikan karakter

Kedua istilah itu dari sudut pandang filsafat pendidikan tidak sama. Pendidikan ’adab berakar pada tradisi pendidikan Islam dan character education berakar pada filsafat pendidikan sekuler. Konsep pendidikan ‘adab memiliki dasar, proses, dan tujuan yang berbeda dengan dasar, proses, dan tujuan pendidikan karakter.

Dalam perspektif filsafat pendidikan, ontologis pendidikan ‘adab adalah eksistensi mengenai hakikat ‘adab sebagai tujuan, proses, dan hasil pendidikan secara utuh. ‘Adab merupakan inti (core) dari material dan proses yang diajarkan kepada manusia sebagai hamba Tuhan.

Dari sisi epistemologis, ‘adab memiliki pola dan model pendidikannya secara metodologis. Sedangkan dari sisi axiologis, ‘adab menjadi inti nilai (core value) dalam pendidikan Islam. Bahkan posisi ‘adab harus diletakkan di atas ilmu (al-‘adab fauqa al-‘Ilm).

Dalam tinjauan sekuler, tujuan pendidikan diarahkan pada capaian-capaian materialistik, sehingga proses dan hasil pendidikan sekuler diorientasikan pada tujuan positivistik semata. Bagi pendidikan sekuler ilmu hanyalah untuk ilmu (knowledge for knowledge).

Sementara Islam memandang ilmu sebagai sarana untuk mencapai pencerahan kesadaran kehambaan. Karena itu tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah membentuk, mengembangkan, dan membangun kesadaran untuk senantiasa mengabdi kepada Tuhan (wa maa khalaqtu al-Jin wa al-Ins illa liya’buduun).

Sumber pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan sumber pendidikan sekuler adalah akal positif dan rasionalitas kemanusiaan.

Dengan demikian, jelas bahwa sumber konsep pendidikan ‘adab berbeda dengan sumber character education. Oleh karena itu, Syed Muhammad Naquib al-Attas, sangat menyarankan agar umat Islam menggunakan istilah Ta’dib untuk menyebut istilah pendidikan Islam, ketimbang istilah Tarbiyah seperti selama ini. Nuansa dan atmosfir yang terkandung dalam kata “Ta’dib” sangat luas dan komprehensif dari sisi paradigmatik karena meliputi semua aktivitas pendidikan secara lahir dan batin.

Pernyataan Nabi Muhammad SAW yang sangat populer yakni: ‘addabanii rabbi fa ahsan ta’dibii, bahwa Allah SWT mendidik ‘adab Nabi Muhammad SAW dan senantiasa memperhalus ‘adabnya. Statemen Nabi Muhammad SAW tersebut secara substantif menunjukkan posisi ‘adab yang sangat tinggi dari sisi filsafat, tradisi, dan khazanah pendidikan Islam.

Relevansi Pendidikan ‘Adab di Indonesia
Dalam tradisi pendidikan di Indonesia hampir tidak pernah dikenal dan tidak digunakan istilah pendidikan ‘adab dalam sistem pendidikan nasional. Istilah yang populer digunakan justru istilah pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan karakter, dan pendidikan nilai. Di madrasah istilah pendidikan akhlak justru yang sering digunakan.

Banyak analisis spekulatif yang muncul sebagai penjelasan “hilang”nya istilah pendidikan ‘adab. Faktor kolonialisme bangsa Eropa Barat di Nusantara dan dunia muslim dalam waktu yang sangat lama dianggap sebagai penyebab dikaburkannya konsep inti pendidikan Islam yang penting ini. Namun beberapa analisis menegaskan bahwa fakta ini sebagai akibat lemahnya nalar substantif para pemikir pendidikan Indonesia sehingga luput memahami core value dari pendidikan yang berharga ini.

Melihat krisis pendidikan di era modern dengan pelemahan ranah pendidikan afeksi berupa maraknya perilaku dekadensi moral di kalangan remaja dan anak usia sekolah, maka penting mendiskusikan penguatan sisi-sisi pendidikan moral peserta didik. Beberapa riset mensinyalir bahwa terdapat dampak berupa demoralisasi dari penerapan kurikulum pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan dunia industri dan kompetensi vokasional semata (Pabajah, 2022).

Demoralisasi pendidikan dimaksud terlihat dalam bentuk kurang diindahkannya tata laku dan budi pekerti dalam interaksi dan pergaulan sehari-hari. Longgarnya pendidikan moral di lembaga pendidikan di satu sisi sebagai akibat penertrasi konten-konten digital yang diakses oleh peserta didik melalui berbagai platform media sosial.

Merujuk Naquib al-Attas, konsep pendidikan adab (Ta’dib) senada dengan pendidikan akhlak karena menyangkut sisi kesopanan, keramahtamahan, dan kehalusan budi pekerti. ‘Adab juga secara konsisten dikaitkan dengan dunia sastra karena ‘adab berhubungan dengan hal-hal yang indah dan mencegah dari kesalahan-kesalahan.

‘Adab secara komprehensif berkaitan dengan obyek-obyek tertentu yaitu pribadi manusia, ilmu, bahasa, sosial, alam, dan Tuhan. Ber-‘adab adalah menerapkan ‘adab kepada masing-masing obyek tersebut dengan benar sesuai kaidah. Tujuan akhir dari proses Ta’dib adalah kedekatan spiritual kepada Tuhan. Karena itu ‘adab berkaitan dengan sisi syari’at dan tauhid.

Orang yang tidak ber-‘adab adalah orang yang tidak menjalankan syari’at dan tidak beriman dengan sempurna. Kumpulan manusia beradab akan melahirkan produk keadaban (adabiyah) yang disebut peradaban (civilization). Dalam konteks ini dapat juga dimaknai ‘adab dengan nilai-nilai kewargaan (civic values). Sungguh sangat luas dan komprehensif konsep mengenai ‘adab dan Ta’dib.

Jika dibaca secara mendalam, terdapat perbedaan substansial antara konsep pendidikan ‘adab dan pendidikan karakter. Menurut Thomas Lickona dalam Educating for Character (1993) pendidikan karakter adalah suatu upaya yang disengaja untuk membantu seseorang agar dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika inti.

Materi dan proses pendidikan karakter terbatas pada aspek perilaku organik manusia dalam batas etika, tetapi pendidikan ‘adab mencakup aspek jasadiyah dan ruhaniyah sekaligus dalam arti yang sangat luas sehingga mampu melahirkan peradaban.

Tradisi pendidikan Islam sangat mengutamakan capaian akhlaki dalam semua proses pembelajaran apapun. Karena itu, kompetensi akhlaki menjadi tujuan sekaligus outcome pendidikan Islam. Tokoh pemikir sekelas al-Ghazali, al-Jurjani dan Ibn Miskawih secara tegas menempatkan isu akhlak dan ‘adab pada posisi yang sangat tinggi sebagai identitas seorang muslim sejati.

Semua tokoh tersebut menegaskan bahwa proses pendidikan Islam (Ta’dib) merupakan proses mencapai ilmu pengetahuan (ma’rifah) untuk mencegah pelajar dari bentuk kesalahan sehingga seseorang dapat mencapai derajat kesempurnaan atau insan kamil (superman) seperti akhlak Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW sebagai produk pendidikan ‘adab langsung dari Allah SWT telah diakui secara normatif dan sosiologis. Dalam al-Qur’an surah al-Qalam ayat 4 disebutkan “Wainnaka la 'ala khuluqin 'adzim” (Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) memiliki budi pekerti yang agung).

Secara sosial historis, buku yang ditulis Michael H. Hart yakni The 100: A Ranking of The Most Influential Person In History (1978) membuktikan keunggulan dan keluhuran budi pekerti Nabi Muhammad SAW yang melahirkan pengaruh agung bagi seluruh umat manusia sampai saat ini. Penelitian Michael H. Hart ini sesungguhnya membuktikan bahwa produk pendidikan ‘adab akan memberi bekas sepanjang hayat kepada peserta didik sebagai learning outcome pendidikan.

Persoalan yang paling penting dan mendasar sebenarnya adalah bagaimana cara mendidik ‘adab secara metodologis kepada peserta didik. Metode role models dan keteladanan sebagai sisi hidden curriculum nampaknya penting dikembangkan pola-pola implementasinya secara lebih konkrit.

Para guru, pendidik, dan peneliti perlu melakukan ikhtiar ilmiah untuk melakukan riset pengembangan agar menghasilkan produk-produk penelitian berupa model, pendekatan metode, strategi, dan teknik yang tepat untuk mengajarkan adab secara efektif di lembaga pendidikan.

Pendidikan karakter yang selama ini dipopulerkan perlu diimbangi dengan pendidikan ‘adab sebagai istilah konsep penting dalam tradisi umat Islam. Para guru, orang tua, dan masyarakat pendidikan Indonesia sudah saatnya menyadari dan bertanggungjawab untuk mendidik ‘adab anak bangsa ini sebagai basis kepribadian bagi terbangunnya peradaban Indonesia yang lebih agung di masa depan. Wallahu a’lam bi al-Shawwab. (*)

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved