Opini
PLTN, Solusi Krisis Energi dan Pemanasan Global
KRISIS energi yang melanda negara-negara di Eropa, Asia, dan bahkan Amerika dianggap menjadi bukti bahwa energi baru dan terbarukan
Oleh: Mahendra Kusuma, SH, MH
Dosen PNS Fakultas Hukum Univeritas Tamansiswa Palembang
KRISIS energi yang melanda negara-negara di Eropa, Asia, dan bahkan Amerika dianggap menjadi bukti bahwa energi baru dan terbarukan (EBT) masih sulit menopang kebutuhan energi.
Berkaca pada kasus yang dialami China yang diketahui mengalami pemadaman listrik bergilir. Itu terjadi karena negara itu berusaha melepaskan diri dari bahan bakar fosil dengan mengurangi emisi karbon yang menyebabkan ratusan tambang ditutup dan memangkas produksi.
Namun, saat terjadi banjir besar, China ketar ketir membutuhkan pasokan batubara untuk kebutuhan listrik.
Begitu pun di Eropa, Inggris dan Jerman, katanya mengandalkan energi terbarukan dari tenaga angin dan di Norwegia tenaga hidro yang menjadi andalan. Namun, sumber tersebut mengering, angin tidak bertiup, dan ketinggian air di Norwegia merosot.
Energi terbarukan mengandalkan cuaca, tapi bagaimana kalau terjadi banjir besar lalu tidak ada angin berbulan-bulan?. Hal ini akan berdampak pada krisis energi. Banyak kalangan yang kurang yakin energi terbarukan bisa mengganti sebagai energi primer.
Oleh karena itu wajar kalau banyak negara di dunia yang menyatakan masih sulit melepaskan penggunaan bahan bakar berbasis fosil, termasuk batubara. Pengamat energi menilai pasokan yang bisa menggantikan pemakaian batubara ialah energi nuklir.
Sebenarnya pemanfaatan nuklir telah dilakukan oleh banyak negara. Ada negara yang mengembangkannya untuk mendapatkan energi listrik. Tenaga nuklir juga dimanfaatkan kapal selam militer.
Penggunaan teknologi itu memungkinkan kapal selam bertenaga nuklir naik ke permukaan laut tidak sesering kapal selam diesel (Kompas, 31/8/2022).
Berdasarkan data world-nuclear.org, energi nuklir merupakan sumber energi rendah karbon nomor dua terbesar yang ada di dunia.
Organisasi itu pun mencatat setidaknya 50 negara telah mengoperasikan PLTN untuk memasok kebutuhan listriknya. Dari seluruh negara di dunia, kapasitas terpasang PLTN terbesar berada di AS dengan daya 789.9 terawatt hour (TWh).
Tercatat sampai kini, setidaknya akan ada sebanyak 50 reaktor nuklir akan dibangun di 19 negara di dunia yang mayoritas berada di China, India, Rusia, dan Uni Emirat Arab.
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengungkapkan, Perancis yang 70 persen pasokan listriknya bergantung pada energi nuklir kini sedang meningkatkan produksinya. Hal serupa dilakukan di Rumania, Hongaria, dan Belanda. Untuk Uni Eropa, Perancis menyumbang 52 persen energi dari PLTN-nya.
Presiden Perancis Emmanuel Macron pada November 2021 mengatakan, ia akan membangun reaktor nuklir baru untuk memenuhi target pemanasan global serta memastikan kemandirian energi.
Sementara itu, hampir 40 persen kebutuhan listrik Belgia berasal dari energi nuklir atau PLTN. Menurut Badan Energi Atom Internasional (IAEA), dengan persentase sebesar itu, Belgia menjadi negara tertinggi keenam di Uni Eropa yang bergantung pada energi nuklir.
Dengan banyak negara Uni Eropa tertinggal dalam target emisi karbon, nuklir dipandang sebagai jalan keluar sementara sampai mereka bergerak menuju energi terbarukan.
Namun dilain pihak, hingga kini sebagian negara-negara kurang melirik energi nuklir.
Salah satu penyebabnya adalah efek bahaya yang ditimbulkannya. Umat manusia paham betul betapa besar potensi bahaya yang terkandung dalam teknologi nuklir.
Satu kesalahan kecil dapat membuat reaktor nuklir mengalami panas berlebihan dan meledak. Radiasi mematikan akan menyebar jauh kemana-mana.
Bencana Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Chernobyl pada 26 April 1986 melekat diingatan masyarakat internasional. Area sekitar pembangkit yang sekarang berada di wilayah negara Ukraina itu dilaporakan masih memiliki potensi radioaktif.
Pembangunan PLTN Chernobyl merupakan proyek ambisius Uni Soviet di bidang nuklir. Reaktor nuklir ini dibangun tahun 1977. Alih-alih mencapai kedaulatan energi, proyek ini menajadi bencana yang memicu keruntuhan negara itu.
Saat terjadi ledakan telah memicu partikel radioaktif 400 kali lebih banyak dibandingkan dengan nuklir pada bom atom Hiroshima.
Kontaminasi diperkirakan menyebar hingga radius lebih dari 100.000 km persegi dari Uni Soviet hingga Eropa Barat. Laporan tahun 2005 dari Forum Chernobyl PBB memperkirakan 50 orang tewas dalam beberapa bulan setelah kecelakaan itu dan 9.000 orang lain yang terpapar radiasi meninggal akibat kanker. Pada 1995, Pemerintah Ukraina menyatakan 125.000 orang meninggal akibat efek radiasi Chernobyl.
Di beberapa negara Eropa penggunaan PLTN mulai menurun sejak 2004. Lituania, misalnya, telah menutup fasilitas nuklirnya pada 2009. Penurunan terbesar terjadi di Jerman, Swedia, dan Belgia.
Jerman, negara ekonomi terbesar dan pemain politik yang kuat di Uni Eropa, akan menutup PLTN terakhirnya pada tahun 2022. Belgia sedang bersiap menutup reaktor nuklirnya pada tahun 2025.
Namun, konflik Rusia-Ukraina memaksa negara-negara Uni Eropa bersiap memutar balik kebijakan energi mereka. Embargo energi Rusia akan memaksa Uni Eropa menghidupkan dan memperpanjang lagi usia operasional reaktor nuklirnya.
Christophe Collignon, Walikkota Huy, Belgia timur, wilayah yang bergantung pada PLTN Tihange, mengatakan, warganya mendukung perpanjangan operasi PLTN itu hingga 2035 untuk menjamin keamanan energi (Kompas, 6/5/2022).
Energi terbarukan yang lebih hijau belum menjadi andalan di seluruh Eropa. Belgia, misalnya, baru bisa memproduksi energi terbarukan secara penuh pada tahun 2050.
Di negara kita, perencanaan pembangunan PLTN sebetulnya telah digaungkan sejak 1970-an, yang mana penelitiannya berpusat di Kawasan Nuklir Serpong di Tangerang Selatan.
Kawasan Nuklir Serpong adalah kawasan pusat penelitian, pengembangan dan perekayasaan ilmu pengetahuan nuklir yang dibangun untuk tujuan mendukung usaha pengembangan industri nuklir dan persiapan pembangunan serta pengoperasian PLTN di Indonesia.
Sayangnya hingga kini masih terjadi pro dan kontra tentang pembangunan PLTN tersebut.
Pendapat yang setuju berargumentasi, dari tinjauan tekologi, teknologi nuklir untuk pembangkit listrik terus berkembang.
Limbah nuklir yang tanpa perlakuan baru bisa musnah di bumi dalam kurun ribuan tahun bisa dipercepat dalam hitungan jam dengan temuan teknologi baru. Dengan demikian, risiko limbah nuklir bisa dikurangi sangat signifikan.
Karunia Firdaus, Deputi Bidang Dinamika Masyarakat Kementerian Riset dan Teknologi menyatakan, PLTN dipilih karena efisien, penerapan teknologi yang semakin maju serta dapat menciptakan lingkungan yang lebih nyaman untuk masyarakat.
PLTN selain energi yang ramah lingkungan, juga jauh lebih baik jika dibandingkan dengan energi seperti air atau matahari.
Teknologi PLTN yang ada saat ini sudah teruji dan memiliki desain yang berlapis sehingga untuk faktor Safety Security dan Safeguards suatu PLTN sudah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Nuklir kini aman, limbahnya sudah bisa dikelola dengan baik, sehingga tidak akan menimbulkan kekhawatiran pencemaran.
Studi kelayakan dilakukan, antara lain, di Kalimanatan Barat, Jawa Tengah dan Bangka Belitung.
David Devanney, CEO PT. Thorncon International, Pte Ltd, sebuah perusahaan dari AS, saat bertemu dengan Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan, mengungkapkan teknologi PLTN yang ditawarkannya memiliki tingkat keamanan yang tinggi, dan berbiaya lebih rmurah dari teknologi konvensional sebelumnya.
Thprncon Molten Salt Reactor ini jenis PLTN generasi ke-4 yang dirancang menggunakan bahan bakar dan menggunakan garam cair untuk pendinginnya, beroperasi pada temperatur tinggi, dan tekanannya mendekati tekanan atmosfer.
Namun, menurut Guru Besar Teknik Elekto UI Rinaldy Dalimi, PLTN tidak cocok dibangun di Indonesia yang rawan gempa bumi. Apalagi, keselamatan kerja di Indonesia rendah sehingga bisa memicu kecelakaan reaktor nuklir (Kompas, 27/4/2021). Selain itu, limbah radioaktif yang dihasilkan PLTN juga berbahaya bagi lingkungan.
Terlepas dari pendapat pro dan kontra, pembangunan PLTN di Indonesia menjadi opsi terakhir mencapai ketahanan energi. Diperlukan komitmen pemerintah untuk menetapkan pembangunan PLTN sebagai upaya menuju Indonesia bebas emisi. Dibutuhkan pemahaman yang baik tentang nuklir dari masyarakat.
Untuk itu, perlu diadakan sosialisasi PLTN secara intensif dan terus menerus dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Upaya lain yang dilakukan adalah menerbitkan buku-buku tentang teknologi nuklir pada jenjang sekolah dan melaksanakan training-training bagi yang belum mengetahui nuklir. ***
Jurang Kesenjangan ala Wakil Rakyat |
![]() |
---|
Pengangguran Terdidik di Sumsel: Kesenjangan Kompetensi dan Kebutuhan Sektor Ekonomi |
![]() |
---|
Apakah Lebih Tepat Bung Hatta Disebut Bapak Ekonomi Kerakyatan, Bukan Lagi Bapak Koperasi ? |
![]() |
---|
Apakah Lebih Tepat Bung Hatta Disebut Bapak Ekonomi Kerakyatan, Bukan Lagi Bapak Koperasi ? |
![]() |
---|
Menilik Kualitas Kesehatan Penduduk Kota Palembang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.