Polemik Pasar 16 Ilir Palembang

Didemo Pedagang Pasar 16 Ilir, Pj Walikota Palembang Jamin Relokasi Tidak Akan Telantarkan Pedagang

Pj Walikota Palembang menjamin relokasi pasar 16 Ilir ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang berada di bawah Jembatan Ampera

Penulis: Hartati | Editor: Yandi Triansyah
SRIPOKU.COM / Hartati
Pj Walikota Palembang A Damenta saat menerima masa aksi di depan kantor Walikota terkait penolakan pedagang pasar 16 Ilir yang akan direlokasi, Senin (2/9/2024). 

SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Pj Walikota Palembang menjamin relokasi pasar 16 Ilir ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang berada di bawah Jembatan Ampera bukan untuk mengusir apalagi menelantarkan pedagang, tapi untuk memindahkan sementara agar revitalisasi pasar 16 lancar. 

"Pemkot tidak akan menelantarkan warganya, kita akan memelihara Pasar 16 dengan baik, hingga semua pedagang akan nyaman dan masyarakat yang berbelanja itu juga aman, tertib dan bersih," tegas A Damenta saat menerima  orasi dari di depan kantor Walikota, Senin (2/9/2024).

Soal tarif sewa kios yang masih dikeluhkan pedagang, Damenta menyebut Pemkot dan PT Bima Citra Realty (BCR) memberikan keringan dengan memberikan harga subsidi untuk sewa kios yakni Rp 180 juta untuk sewa 25 tahun ke depan.

Biaya itu dinilai terjangkau karena jika dibagi per hari hanya Rp 20 ribu saja, murah dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan bagi perokok per bungkusnya setiap hari.

Apalagi nantinya jika revitalisasi sudah berjalan, maka operasional kios di pasar 16 juga berlangsung hingga malam hari hingga pukul 22.00 bukan lagi tutup sore hari seperti saat ini.

Damenta menyebut pro kontra sebenarnya hal wajar, namun jika dirunut dan selalu berputar di tempat yang sama sangat melelahkan dan tidak akan baik bagi perputaran roda perekonomian.

Oleh sebab itu revitalisasi harus terus berlanjut, semakin cepat revitalisasi dilakukan maka semakin cepat selesai dan pedagang bisa kembali berjualan di pasar 16 Ilir.

Menurutnya perbedaan data, perbedaan
pendapat itu hal yang wajar, tapi apabila  tidak bisa diselesaikan secara musyawarah maka akan berlanjut di ranah hukum.

"Kita negara hukum tapi ranah hukum itu tidak boleh memutus sosial sehingga diupayakan musyawarah dulu, Jadi hukum itu biarlah memutus perselisihan dan perbedaan data di antara kita. Kalau sudah putus hukum harus kita taati," tutup Damenta.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved