Opini

Maknai Muharam Lebih Optimal

Kata Muharam berasal dari Bahasa Arab memiliki makna diharamkan atau dipantangkan, yaitu waktu dilarang melakukan peperangan atau pertumpahan darah

Editor: Yandi Triansyah
handout
Uswatun Hasanah 

Oleh: Uswatun Hasanah

Peristiwa Muharam

Kata Muharam berasal dari Bahasa Arab memiliki makna diharamkan atau dipantangkan, yaitu waktu dilarang melakukan peperangan atau pertumpahan darah. Dalam kalender Hijriah, Muharam merupakan bulan pertama di satu tahun kalender muslim.  

Tanggal 1 Muharam adalah hari pertama di tahun baru Islam yang ditandai dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw beserta kaum muslimin dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi.

Pada hakikatnya bulan Muharam bukan saja milik Rasulullah Muhammad saw dan umatnya. Dalam banyak riwayat dijelaskan tentang beragam peristiwa penting yang terjadi di bulan ini pernah dialami oleh nabi dan rasul sebelumnya.

Setidaknya ada sepuluh peristiwa kenabian yang terjadi di bulan Muharam yaitu pertama Isthofa Adam; saat dimana taubatnya Nabi Adam as diterima Allah swt. Peristiwa berikutnya adalah Allah swt mengangkat Nabi Idris as ke langit, berlabuhnya kapal Nabi Nuh as di Gunung Judd, Nabi Ibrahim as diangkat sebagai Khalilullah (kekasih Allah), Allah swt memberikan ampunan untuk Nabi Daud as, Nabi Sulaiman as mendapatkan kembali kerajaannya yang sempat hilang, Allah swt memberikan kesembuhan kepada Nabi Ayub as, Nabi Yunus as berhasil keluar dari perut ikan, serta pertemuan kembali Nabi Yusuf as dan Nabi Yaqub as setelah terpisah selama 40 tahun. Selain itu bulan Muharam juga merupakan bulan lahir dan naiknya Nabi Isa as ke langit atas kehendak Allah swt.

 

Keutamaan Muharam

 Dalam surat al Fajr ayat 1dan 2 disebutkan: Demi fajr, dan malam yang sepuluh. Para mufasir menjelaskan bahwa maksud dari makna malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama dari tiga bulan istimewa, yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah dan 10 hari pertama di bulan Muharam. Pendapat tersebut juga dipertegas dengan surat al-Taubah ayat 36 bahwa ada empat bulan yang dimuliakan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab. Dengan kemuliannya maka pada bulan tersebut umat Islam dilarang menganiaya diri sendiri dan orang lain serta dianjurkan untuk memperbanyak amal shaleh. Bukan berarti pada bulan selainnya perbuatan menganiaya dimaklumkan atau diperbolehkan untuk lalai dari melakukan amal shaleh. Namun maknanya adalah di bulan tersebut Allah swt melipatgandakan balasan bagi setiap amal manusia. Tidak hanya ganjaran kebaikan termasuk juga balasan bagi perbuatan buruk yang dilakukan di bulan mulia tersebut.

 Amalan kebaikan yang bisa dilaksanakan di bulan Muharam antara lain adalah: menghidupkan puasa sunnah dan memperbanyak sadaqah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yang bernama Muharam (H.R. Muslim, 1163). Salah satu fadilah melaksanakan puasa satu hari di bulan Muharam yaitu tepat pada hari Asyura tanggal 10 Muharam adalah dapat menggugurkan dosa selama satu tahun yang telah berlalu (H.R. Muslim, 1162). Imam al-Nawawi menegaskan bahwa maksud dari hadis adalah puasa pada tanggal 10 bulan Muharam dapat menghapus semua dosa kecil, sedangkan dosa besar penyuciannya membutuhkan taubat nasuha (Q.S. At-Tahrim, 8).

 Selain memperbanyak puasa sunnah, amalan yang dianjurkan diperbanyak pada bulan Muharam adalah shadaqah. Sebagimana keutamaan Muharam dimana Allah melipatgandakan pahala amal kebaikan maka shadaqah yang merupakan amalan utama, disukai Allah dan disunnahkan oleh Rasulullah maka akan semakin berlipat ganda ganjaran kebaikan daripadanya. Perumpamaan orang-orang yang bersadaqah harta bendanya di jalan Allah, sebagaimana (orang yang menanam) sebutir biji yang menumbuhkan tujuh unta dan tiap-tiap unta terdapat serratus biji dan Allah melipatgandakan (balasan) kepada orang-orang yang dikehendaki, dan Allah Maha Luas (anugerah-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-Baqarah, 261). Rasulullah saw bersabda bahwa: Sedekah itu dapat menghapus dosa, sebagaimana air memadamkan api (H.R. al-Tirmidzi, 641).

 

Hijrah Hissi dan Maknawi

 Tidak ada batasan kebaikan yang dapat dilakukan oleh seorang manusia di dalam hidupnya. Asalkan tidak bermaksiat kepada Allah dan ditujukan hanya untuk mengharap keridhaan Allah maka semua amalan manusia akan bernilai kebaikan dan mendapat balasan pahala yang besar di hadapan-Nya. Selain dua amalan khusus dan utama dilakukan pada bulan Muharam tersebut, ada satu amalan lainnya yang menjadi ciri khas ketika tibanya bulan Muharam, yaitu hijrah.

Hijrah dapat didefinisikan dalam dua bentuk yaitu: pertama Hijrah Makani atau disebut juga Hijrah Hissi sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah yaitu pindah dari Mekkah menuju Habasyah, Ethiopia, Thaif dan berakhir di Madinah. Di masa sekarang hijrah Hissi bisa dilakukan dalam konteks pindah dari lingkungan yang kurang baik menuju lingkungan yang baik. Misal hijrah dari negeri yang banyak fitnah dan bencana menuju negeri yang damai dan aman. Kedua; hijrah maknawi yaitu hijrah dengan hati yang difokuskan kepada pemahaman untuk melakukan perubahan pada diri menjadi lebih baik dari sebelumnya. Berpindah dari hati yang bermaksiat menuju ketaatan kepada Allah swt.

Hakikatnya adalah hijrah yang berbentuk empiris di masa Rasulullah saw, menjadi hijrah dalam bentuk metafisik di zaman sesudahnya. Pelaksanaan hijrah secara maknawi oleh umat Islam sebagaiman sabda Rasulullah saw: Barangsia hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, barangsiapa yang hari ini sama dengan kemarin maka dialah orang yang merugi, dan barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka dialah orang yang celaka (H.R. Hakim,457)

 Jika kedatangan Ramadhan menjadi sarana bagi manusia kembali kepada fitrahnya yaitu menjadi hamba Allah yang bertaqwa (Q.S. al-Baqarah, 185), maka Muharam adalah bulan yang memiliki hakikat yang sama yaitu hijrah dari keburukan menuju kebaikan, dari kelalaian menuju ketaqwaan. Karena tujuan dari penciptaan manusia adalah semata-mata untuk beribadah kepada Allah (Q.S. adz-Dzari’at, 56). Manusia tidak dibiarkan begitu saja hidup di alam semesta tanpa pertanggung jawaban (Q.S. al-Qiyamah, 36). Manusia diciptakan dengan tanggung jawab untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan dengan penuh kepatuhan. Begitupun juga pada kemuliaan yang terkandung dalam bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Pada saatnya Allah akan memberi balasan terhadap perbuatannya berupa balasan yang kekal abadi di akhirat nanti (Q.S. an-Nahl, 41).

Kepatuhan manusia tidak hanya berwujud menjalankan ibadah ritual kepada Allah sesuai sunnah Rasul. Namun manusia juga perlu menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia. Manusia yang shalih adalah yang berhubungan baik dengan Allah dan juga manusia lainnya. Sebagaimana Rasulullah saw diutus tidak hanya untuk mengajarkan cara beribadah pada Allah, namun juga mencontohkan bagaimana berakhlak kepada sesama manusia (H.R. Ahmad, 2: 381). Setiap manusia pernah berbuat salah. Namun yang paling baik dari yang berbuat salah adalah yang mau bertaubat (H.R. Tirmidzi, 2499).

Orang yang mau kembali pada Allah, meninggalkan maksiat menuju ketaatan. Ia mau berhijrah dari perilaku yang tidak disukai Allah kepada keridhaan Allah.  Mengembalikan fitrahnya sebagai seorang hamba yang patuh kepada Rab-nya. Ibnu Katsir menerangkan taubat yang tulus dilakukan dengan cara menghindarkan diri dari dosa, menyesalinya, bertekad tidak mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya atau mengembalikannya.” (Tafsir al-Qur’an Al-Azhim, 7: 323).

Perintah berhijrah dengan target puncaknya adalah kembali kepada fitrah diperintahkan kepada semua manusia. Allah sangat memahami hamba-Nya sebagai insan yang mudah tergoda dan melakukan salah dan khilaf, sehingga Allah memberikan jalan keluar dengan cara berhijrah menetapkan waktu istimewa di antaranya bulan-bulan istimewa. Firman Allah: Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53). Tentu saja hijrah yang dilakukan tidak boleh dilakukan dengan cara main-main. Setelah berhijrah, seseorang harus punya tekad menjadi baik dan tidak mengulangi lagi maksiat yang pernah dilakukan. Balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya. Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (Q.S. Maryam: 76).

Sebuah karunia terbesar dalam hidup seorang hamba jika bisa senantiasa istiqamah pada kebaikan. Bulan Muharam menghendaki manusia mampu berstiqamah dan ikhlas melakukan peningkatan amalan kebaikan. Tidak salah jika kaum muslimin memaknai bulan Muharam secara lebih optimal. Keikhlasan yang akan menjadi dasar dalam melakukan amalan sehingga menjadikan amalan itu ada dan bernilai. Kekal, karena diperhitungkan dan akan mendapatkan balasan dari Allah swt. Kekal juga karena memiliki manfaat bagi orang lain yang merasakan keikhlasan dari sebuah amalan seseorang.

Terakhir sebagai penutup, dalam catatan melakukan amalan hijrah menuju sesuatu yang lebih baik adalah bersegera terlebih saat momen istimewa itu datang. Raih kesempatan, dan bersegeralah kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imran: 133). Bersegera untuk melaksanakan hijrah meninggalkan maksiat dan meraih ampunan Allah. Bulan Rajab, Ramadhan, Dzulhijjah telah berlalu, sekarang adalah bulan Muharam. Satu di antara bulan yang ditetapkan Allah keistimewaan padanya. Semoga bisa memanfaatkannya lebih optimal untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu.  

 

 


 

 

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved