Legitimasi Etis Kuasa Kenegarawanan dan Tukang Bakso

Legitimasi etis bagi kuasa politik kenegarawanan haruslah mampu menentukan diri dalam norma kehidupan

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
Dr. Muhamad Erwin, S.H., M.Hum. Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Sriwijaya, Dosen Filsafat Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dan STIHPADA. 

Kekuatan kuasa politik negarawan terpancar dari wibawanya di mata hati rakyatnya. Dapat dirasakan oleh rakyatnya bahwa kuasa politik negarawan itu memang mampu mengerahkan kekuatannya yang lebih untuk membangun semangat rakyatnya, bukan sekedar oleh karena kekuatan organisasi partai politik ataupun oleh karena faktor keturunan.

Tolok ukur utama dari kewibawaan kuasa seorang negarawan yakni terletak pada capaiannya dalam menghadirkan keselarasan sosial bagi rakyat negara tersebut.
Dalam ukuran etika politik, jika terdapat ungkapan ataupun sikap tindak dari kuasa negarawan yang kemudian telah menimbulkan keresahan ataupun kegaduhan pada masyarakat, maka artinya keselarasan sosial tidak tercapai. Keselarasan sosial negara akan tampak dalam kenyamanan, semangat, dan kecerdasan rakyatnya.

Jadi kuasa negarawan terutama harus diarahkan pada semangat batin rakyatnya, bukannya dengan malahan merendahkan martabat rakyat seperti dalam pengemukaan penampilan tukang bakso. Kemampuan untuk menyadap energi kosmos Pancasila sangat tergantung pada sikap batin seorang negarawan itu. Sikap batin yang ditunjukkan seorang negarawan terpancar dari peran menjalankan kuasa politiknya.

Legitimasi etis kenegarawanan bukannya sekedar bahwa kekuasaan dalam kekuatan politik itu sah atau tidak sah saja secara hukum, melainkan terletak pada apakah kenegarawanan itu sungguhan adanya atau semu saja.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

Masyarakat madani, dalam artian sebagai masyarakat yang cerdas dan tidak di bawah tekanan akan menuntut apakah si negarawan yang memegang kendali kekuatan politik itu memang mempergunakan kuasa kenegarawanannya itu sebagaimana yang diharapkan masyarakat.

Sesuai dengan sifat hakikat kekuasaan itu sendiri, cara pemakaiannya harus memberikan semangat, bukannya merendahkan. Bisa jadi suatu kekuatan politik partai dari seorang kuasa negarawan memperoleh dukungan mayoritas rakyat, namun belum menjamin harkat etika dan moral seorang kuasa politik negarawan.
Berkembang dan layunya kuasa seorang negarawan akan begitu berhubungan dengan munculnya pamrih pemegang kuasa negarawan yang bersangkutan. Karena pamrih, bisa jadi kekuatan menyadap keselarasan sosial itu akan dapat berkurang dan akan semakin berkurang sampai dengan kehilangan kuasa politik kenegarawanannya.

Kuasa politik seorang negarawan akan tampak melemah saat ia telah menghadirkan keresahan ataupun kegaduhan terhadap keselarasan sosial. Jadi, bahaya terbesar bagi kuasa politik seorang negarawan bukan berasal dari lawan politiknya, melainkan dari kemerosotan akhlak dan budi kuasa politik negarawan itu sendiri.

Karena ciri seorang negarawan yang sebenarnya adalah terletak pada keluhuran lembaga budi yang tertancap pada sanubarinya dan yang diwujudkannya dalam sikap tindak. Mutu legitimasi etis kenegarawanan hanya dapat dipertahankan, jika mutu manusiawinya dilandasi dengan sikap hormat terhadap manusia.

Hormat terhadap manusia berarti mengakui kedudukannya yang sama, tidak menempatkannya sebagai objek orientasi rendahan. Sebagai warga negara, tukang bakso itu juga dilekati dengan nilai kesamaan pada hak asasi manusianya, yakni dalam situasi yang sama sebagai warga negara (anggota dari negara) haruslah diperlakukan secara sama. ***

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved