Legitimasi Etis Kuasa Kenegarawanan dan Tukang Bakso
Legitimasi etis bagi kuasa politik kenegarawanan haruslah mampu menentukan diri dalam norma kehidupan
Oleh: Dr Muhamad Erwin, SH, MHum.
Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Sriwijaya
Dosen Filsafat Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dan STIHPADA
TAK dinyana, kata “bakso” pernah terlontar oleh Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat ke 44 yang sangat kharismatik saat memberikan kuliah umum di Balairung Universitas Indonesia, 10 Nopember 2010 sebagaimana kutipan dalam pernyataannya berikut: “Indonesia bagian dari diri saya... Sebagai anak kecil, saya datang ke belahan dunia yang berbeda. Namun penduduk Indonesia dengan cepat membuat saya merasa nyaman... Saya belajar untuk mencintai Indonesia..., dengan membeli sate, bakso dari pedagang keliling. Saya masih ingat teriakan mereka..sate.., bakso. Enak ya..Masa saya tinggal di Indonesia membantu saya memahami bahwa semua manusia itu sama”.
Pada kutipan pidato ini telah terdapat pembelajaran tentang pentingnya keberadaan (ontologi) identitas nasional bagi suatu negara dan arti nilai (aksiologi) kesamaan sebagai nilai mendasar yang melekat pada entitas hak asasi manusia. Sekaligus secara fenomenal melalui pidato tersebut, seorang presiden negara adi kuasa telah pula memuliakan profesi tukang bakso sebagai identitas nasional Indonesia.
Sementara itu, sebagai negarawan dan Presiden Republik Indonesia ke 5 melalui pidatonya dalam Rakernas PDIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan pada 21 Juni 2022 yang lalu, melemparkan lelucon bahwa dirinya telah memperingatkan semua anaknya agar tidak menemukan pasangan hidup seperti tukang bakso dengan pernyataan berikut: “Jadi, ketika saya mau punya mantu, saya sudah bilang kepada ketiga anak saya, ‘awas loh kalau carinya yang kayak tukang bakso’, sorry ya”, ujar Megawati sambil tertawa. Ironinya, pada saat itu Presiden dan Ketua DPR pun ikut tertawa.
Sebagai sosok Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), harusnya cerdas dalam mengejawantahkan ideologi negara ke dalam realitas politik yang nyata. Merendahkan penampilan tukang bakso sama juga dengan kurang mampu mengejawantahkan keberadaan (ontologi) Sila Kedua Pancasila bahwa manusia itu “ada” untuk memanusiakan manusia dan untuk membangun peradaban. Seturut dengan ontologi Sila Kedua Pancasila tersebut, artinya pelaksanaan legitimasi kekuasaan itu harus dapat sesuai dengan martabat manusia termasuk kepada tukang bakso.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Legitimasi etis bagi kuasa politik kenegarawanan haruslah mampu menentukan diri dalam norma kehidupan, karena segenap kenyataan politik begitu dapat mempengaruhinya sehingga membutuhkan pengetahuan yang setepat-tepatnya.
Karenanya pernyataan seorang negarawan tidak hanya dinyatakan dengan berdasarkan kebutuhan alamiah saja (id), namun harus mampu ditempatkan secara bertanggung jawab. Dimana tanggung jawab itu sendiri merupakan kemampuan untuk menjawab.
Dalam filsafat, urusan mempertanyakan tentang tanggung jawab yakni terletak pada cabangnya yang disebut etika. Pada konstelasinya, etika terbagi atas etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan standar tindakan manusia.
Etika khusus membahas prinsip-prinsip dalam hubungannya dengan kewajiban manusia pada pelbagai kehidupannya. Sebagai salah satu dari percabangan etika khusus, bertempatlah etika sosial yang mengadakan penelusuran tentang wilayah kehidupan manusia. Sementara dalam salah satu percabangan etika sosial itu sendiri terdapat etika politik.
Inti permasalahan etika politik yakni terletak pada masalah legitimasi etis kekuasaan. Atas dasar hak moral apa kuasa politik negarawan ataupun suatu partai politik dapat mempergunakan kekuasaan yang dimilikinya? Seberapa besar kuasa seorang pemegang kuasa politik senantiasa dapat dihadapkan dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkannya.
Semakin dapat mempertanggungjawabkan kuasa politiknya, maka akan semakin hidup kekuasaannya. Sementara jika semakin tidak tidak dapat mempertanggungjawabkan kuasa politiknya, maka legitimasi etis kekuasaannya akan semakin melemah, bahkan akan terlepaskan dari status negarawan.
Kuasa politik seorang negarawan sebagai pengendali etika politik merupakan kekuatan yang dapat mengatur masyarakat. Oleh karenanya, segenap kekuatan dalam masyarakat harus mampu dipahami sebagai ungkapan energi semesta kebangsaan, bukan sekedar dalam lingkup energi partai politik.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Jadi, seorang negarawan terlebih sebagai pemimpin partai politik yang sedang berkuasa harus mampu menyerap kekuatan legitimasi religius, legitimasi ideologis, dan legitimasi sosiologis dalam jiwa rakyatnya.
Dapat dibayangkan kalau legitimasi etis seorang kuasa politik negarawan itu sama seperti bendungan irigasi yang harus mampu membendung derasnya air sungai yang lewat, kemudian diarahkan ke percabangan sawah petani, kolam ikan rakyat, ataupun dikelola menjadi listrik bagi rakyatnya.