Paradigma Hukum Perlindungan Anak Dalam Kejahatan Asusila
UNDANG-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirasa belum mengakomodir berbagai hal-hal urgen didalam perlindungan anak.
Pengadilan Tinggi Bandung mengabulkan banding jaksa dengan putusan berupa pidana mati dan pembebanan pembayaran restitusi, perawatan bagi 9 (sembilan) orang anak dari para korban dan anak korban serta perampasan harta Terdakwa berupa tanah dan bangunan serta hak-hak Terdakwa dalam Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda, Pondok Pesantren Tahfidz Madani, Boarding School Yayasan Manarul Huda, serta asset lainnya baik yang sudah disita maupun yang belum dilakukan penyitaan untuk selanjutnya dilakukan penjualan lelang dan hasilnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat untuk dipergunakan sebagai biaya pendidikan dan kelangsungan hidup para anak korban dan bayi-bayinya hingga mereka dewasa"
Lalu bagaimana jika pelaku tidak memiliki kemampuan melaksanakan restitusi terhadap korban, sedangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur secara tegas bahwa restitusi tanggung jawab pelaku kejahatan.
Di dalam Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) jika harta kekayaan pelaku tak mencukupi untuk menutup besarnya restitusi yang ditetapkan hakim, kekurangannya akan dikompensasi oleh negara melalui Dana Bantuan Korban (DBK), sementara pelaku diganjar hukuman pengganti yang tak melebihi ancaman pidana pokok dari pasal yang dilanggar.
DBK adalah wadah penghimpunan dana yang dihimpun dari para filantropi, masyarakat, individu, tanggung jawab sosial perusahaan, serta sumber lain yang sah dan tak mengikat yang tujuan utamanya adalah memberikan pemenuhan hak-hak korban yang berhak menerima restitusi khusnya anak.
Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan kepastian restitusi terhadap korban.
Selain menjatuhkan pidana penjara dan/atau denda terhadap pelaku, hakim juga wajib menetapkan besarnya restitusi yang harus dibayarkan pelaku terhadap korban.
Besarnya restitusi adalah berdasarkan perhitungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang sejak awal telah melakukan koordinasi horizontal dengan polisi dan jaksa yang menangani kasus tersebut. pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai pelaksana teknis operasional pada satuan kerja yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang berfungsi sebagai penyelenggara pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, dan masalah lain.
Aspek pencegahan yang melibatkan masyarakat dan keluarga, termasuk pemantauan pelaksanaan penyelesaian TPKS yang dilakukan Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Komnas Penyandang Disabilitas di bawah koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
Serta Ada sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang dirumuskan di Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual : pelecehan seksual nonfisik, pelecehan fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain itu Pasal 4 ayat (2) huruf c dan f Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan “ Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap Anak; persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap Anak.
Dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) menyebutkan Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekrlasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Termasuk pemaksaan perkawinan anak yang mengatasnamakan praktek budaya atau pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan.
Sehingga pekawinan yang terjadi pada perempuan khususnya anak bukan sebagai sebuah legalisasi kekerasan seksual sehingga perempuan khususnya anak mendapatkan perlindungan hukum yang jelas.
Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur secara khusus mengenai hukum acara yang sangat komprehensif, dari tahap pelaporan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang, hingga eksekusi terhadap putusan pengadilan.
Perlindungan dan pemulihan terhadap korban dilakukan secara simultan dengan proses hukum sehingga hak-hak korban dapat terakomodir dengan baik.
