Paradigma Hukum Perlindungan Anak Dalam Kejahatan Asusila

UNDANG-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirasa belum mengakomodir berbagai hal-hal urgen didalam perlindungan anak.

Editor: Refly Permana
dokumen pribadi
Dedi Setiawan S.H selaku Pembimbing Kemasyarakatan Pertama Bapas Kelas I Palembang, Kanwil Kemenkumham Sumsel. 

Oleh : Dedi Setiawan S.H 
(Pembimbing Kemasyarakatan Pertama Bapas Kelas I Palembang, Kanwil Kemenkumham Sumsel)

SRIPOKU.COM, PALEMBANG - UNDANG-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirasa belum mengakomodir berbagai hal-hal urgen didalam perlindungan anak.

Sehingga Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang akan lebih mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda  bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak.

Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak (korban kejahatan) dikemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.

Langkah strategis dan progresif dilakukan oleh pemerintah dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang lebih mengakomodir kepentingan korban dan mengklasifikasikan kekerasan seksual dalam 9 kategori dengan definisi yang lebih luas dan mampu lebih menjerat pelaku, memberikan perlindungan bagi korban, keluarga korban, dan saksi.

Selain itu pelaku kekerasan seksual diberikan rehabilitasi agar tindakan kekerasan seksual tidak kembali terjadi. 

Politik hukum pemerintah dengan mengesahkan undang-undang ini sebagai wujud keseriusan pemerintah didalam penanganan kejahatan seksual yang lebih komperhenshif.

Kejahatan Seksual Terhadap Anak

Pergeseran persfektif masyarakat didalam memandang kejahatan seksual tampak lebih baik.

Empati terhadap korban kejahatan seksual oleh masyarakat yang tidak lagi memadang tabu mengenai kejahatan seksual khususnya terhadap anak, justru masyarakat semakin menginginkan penegakan hukum berkeadilan demi kepentingan terbaik baik bagi korban khusunya anak.

Pelaku kejahatan seksual terhadap anak, adalah pelaku-pelaku yang mempunyai trauma masa lalu, seperti kasus pelaku kejahatan seksual pedofilia dengan pelaku Andri Sobari alias Emon,  dengan korban mencapai 110 anak.

Keduanya mempunyai trauma masa lalu dalam hal pelecehan seksual. Sehingga menjadi pelaku kejahatan seksual karena dampak yang timbul akibat kekerasan seksual yang pernah mereka alami.

Kejahatan seksual terhadap anak yang belum lama viral adalah kasus pemerkosaan terhadap santri sebanyak 13 orang hingga memiliki bayi sebanyak 9 bayi yang dilakukan oleh Heri Wirawan yang merupakan pengurus Yayasan Rumah Tahfidz Al Ikhlas dan Madani Boarding School.

Sangat ironis seorang yang harusnya menjadi pendidik dan tauladan justru menjadi pelaku kejahatan yang memilukan.

Pada putusan Pengadilan Negeri Bandung Bandung Nomor : 989/ Pid.Sus/2022/PN.Bdg., tanggal 15 Pebruari 2022,  sempat menjadi polemik karena Herry Wirawan mendapatkan putusan penjara seumur hidup  dan terhadap penetapan restitusi dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia menjadi pihak ketiga yang menanggung restitusi yang langsung mendapat tanggapan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menegaskan putusan hakim terhadap penetapan restitusi tidak memiliki dasar hukum. 

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved