Wawancara Eksklusif

Wawancara dengan Terpidana Kasus Bom Bali, Ali Imron: Saya Berteman dengan Anak Korban

Ia kerap diundang menjadi pembicara untuk menceritakan penyesalannya atas perbuatan yang pernah dilakukan.

Editor: Soegeng Haryadi
TRIBUNNEWS
Ali Imron 

Hambali senior saya yang di Guantanamo saja masih kalah sama saya. Artinya alhamdulillah keterus-terangan saya tentang kenapa saya harus bersikap seperti ini, sesuai dengan pemikiran mereka. Yang sudah ketemu saya itu alhamdulillah merespons dan mereka mengkampanyekan di luar, sesuai yang saya harapkan.

Bom di katedral Makassar?
Begini, ini perlu diketahui semuanya. Indonesia ini luas, kemudian Indonesia ini pernah punya latarbelakang kekerasan yang bermacam-macam. Kekerasan yang akhirnya mengarah pada pemikiran radikalisme atau terorisme.

Supaya semuanya tahu, karena saya kurang suka ada yang komentar kenapa sudah ada yang mengkampanyekan deradikalisasi masih ada aksi teror. Ini tidak baik mengatakan seperti itu. Satu bahwa Indonesia kita ini dijajah Belanda 3,5 abad lebih.

Setelah kemerdekaan ada proklamasi negara Islam Indonesia tahun 1949. Setelah itu ada pemberontakan yang disebut DI TII, setelah orde baru ada peristiwa komando jihad yang menangkap para jihadis penerus daripada NII, ketika jaman Ali Murtopo. Kemudian di Orde baru masih ada peristiwa TJ. Priok.

Di Lampung ada peristiwa Talangsari Lampung. Kemudian tahun 2000-an di Ambon, di Poso, peristiwa itu juga terjadi. Dengan adanya hal-hal yang semacam ini wajar kalau di Indonesia ini banyak sekali orang-orang yang memiliki paham radikalisme atau terorisme, yang tentu bertentangan dengan UUD 1945.

Saya paling prihatin ketika melihat kondisi seperti ini, saya paling ngeri. Karena di Indonesia, baik orang muda, orang dewasa maupun orang tua masih banyak yang punya pemikiran radikal. Saya contohkan, saya jadi Direktur Pondok Al Islam, pada waktu itu, lulusan tahun 2001 dan 2000, 1999, itu hampir semuanya, laki sama perempuannya itu siap bom bunuh diri atas dasar jihad. Itu hanya murid saya, apalagi murid-murid ustaz lain, ustaz yang jihadis.

Kok masih ada seperti itu? Masih banyak. Tetapi jangan sampai membuat kita yang peduli deradikalisasi patah semangat. Pemikiran-pemikiran terorisme atau radikalisme itu tidak bisa kita habisi atau kita selesaikan 100 persen. Itu akidah, itu keyakinan. Kasus-kasus narkoba, korupsi, kriminal, yang sudah jelas-jelas salah saja masih tidak bisa dibendung. Apalagi pemikiran-pemikiran jihadis, yang oleh dunia disebut terorisme. Apa yang saya lakukan ini bukan berarti bisa mengikis habis, tidak bisa. Sering saya lakukan, minimal kita ini bisa mencegah. Misalnya seharusnya 100 orang yang harusnya terlibat, tinggal 50 atau 25 orang, atau bahkan hanya 1 orang, itukan bagus sekali. Jangan sampai kita menganggap remeh, Indonesia ini sangat luas. Kemudian peristiwa-peristiwa itu tadi yang menjadikan adanya pemikiran radikal itu.

600 mantan Napiter yang dibebaskan punya keluarga. Bagaimana membina mereka supaya tidak jadi bagian dari terorisme lagi?
Caranya sebagaimana dilakukan BNPT selama ini. Yang saya lakukan, semacam itu. Tidak bisa kita buat mereka ini misalkan 100 persen harus NKRI harga mati, atau pancasilais, itu tidak bisa. Jadi harus kita ini sabar juga, bahwa yang penting mereka ini tidak gabung lagi, dan tidak melakukan aksi teror lagi. Selama ini yang saya pantau, alhamdulilah banyak yang menyadari (kesalahan). Terutama kami, yang misalkan tergabung afiliasi, misal Al-Qaeda, yang pernah ditangkap dan sudah keluar, jarang langsung melakukan aksi. Mereka ini kebanyakan menyembunyikan informasi dan membantu jaringannya, itu ada ratusan. Sehingga ketika mereka ditangkap, yang asalnya sesama JI, ketika di luar tidak setuju kami melakukan pengeboman, dipenjara pun mereka tidak setuju. Sehingga ketika bebas pun mereka juga tidak setuju. Kawan-kawan Seperti inilah yang saya pribadi mengharapkan untuk terus Istikomah bahwa ketidaksetujuan dengan aksi teror atau kekerasan atas dasar jihad ini supaya dikampanyekan di masyarakat. Jihadis tetap mereka itu memandang ini adalah senior, ini adalah yang pernah ditangkap kasus terorisme, kalau mantan-mantan ini bisa berkampanye untuk melakukan deradikalisasi itu lebih efektif daripada orang umum yang belum tahu apa-apa tentang masalah terorisme.

Adik Anda mendirikan Yayasan, salah satu kegiatannya menemukan Napiter dengan korban. Metode ini efektif tidak?
Yayasan Lingkar Perdamaian, ini sebetulnya juga saya yang mendirikan. Saya yang istilahnya, sama adik Ali Fauzi ketemu, kemudian membicarakan seperti itu. Kenapa mendirikan yayasan? Begini, kami ini sebagai pelaku, sehingga tahu caranya bagaimana ke depan ini untuk melakukan deradikalisasi. Akhirnya kami menyimpulkan bahwa yang perlu kita lakukan adalah mendirikan yayasan. Gunanya apa? Sebagai wadah untuk bertemunya mantan-mantan Napiter, kemudian bertemunya alumni Afghanistan, alumni Filipina, alumni jihad Ambon dan Poso dan para kombatan jihad itu. Ini pentingnya.

Setelah punya yayasan, yang kami lakukan adalah menyuarakan perdamaian. Maka akhirnya kami pilih yayasan Lingkar Perdamaian. Kenapa saya memilih kantor pusat itu di desa kami di Desa Tenggulun, karena dulu sejak 1996 kami mengawali, mengumpulkan kekuatan di desa saya.

Mengumpulkan bahan kimia dari 1 kilo sampai berton-ton, kami berangkat ke Ambon dari desa Tenggulun. Melakukan pengeboman malam natal dari desa Tenggulun, kemudian pengeboman Kedubes Filipina Agustus tahun 2000 juga dari desa Tenggulun. Dan bom Bali juga dari desa Tenggulun. Desa yang waktu itu kami gunakan untuk melakukan aksi teror itu, ketika saya sadar, kemudian diikuti oleh adik saya Ali Fauzi, maka desa itu harus kita sulap menjadi kebalikannya, yaitu mengkampanyekan perdamaian. Itu tujuan saya sama Ali Fauzi, alhamdulilah akhirnya ada dukungan dari alumni Afghanistan, alumni Filipina, dan kombatan-kombatan jihad Ambon dan Poso. Termasuk para narapidana terorisme.

Apakah cara ini efektif?
Efektif cara ini. Polisi, Polda Metro Jaya, BNPT, juga mempertemukan Keluarga korban bom Bali dengan saya. Saya pun terimakasih karena selama ini saya hanya bisa memohon maaf lewat media, persidangan, alhamdulilah ketika datang saya bisa langsung bersalaman dan meminta maaf. Jadi efektif, akhirnya yang dilakukan Yayasan Lingkar Perdamaian bagus sekali. Para keluarga korban bahkan berkunjung ke kantor kami, dan kami bersepakat mengkampanyekan, menyuarakan perdamaian di tingkat nasional maupun internasional.

Korban yang dipertemukan, siapa yang paling membekas bagi anda?
Semuanya membekas. Tapi yang membuat saya betul-betul saya semakin menyadari besarnya kesalahan adalah bertemu dengan anak korban yang pada waktu peristiwa itu usia 10 tahun. Itu peristiwa bom Bali, jadi ayahnya pada waktu itu supir taksi, berada di sekitar Sari Klub. Anak ini umur 10 tahun ketika ayahnya meninggal. Kemudian bertemu saya saat usia anak ini 27 tahun.

Saya memang selalu menyadari sebagai orang salah hanya bisa memohon maaf. Bagaimana si anak ini bertemu saya pertamakali, jadi istilahnya, saya menyadari bahwa anak 10 tahun ditinggal ayahnya karena ulah kami betul-betul, kalau jiwa dan hatinya tidak benar-benar tulus tidak mungkin bisa memaafkan saya. Jadi dari awal pertemuan itu sudah gemetar, jengkel, marah dan sebagainya. Tapi alhamdulillah, akhirnya dialog, saya akhirnya bisa jelaskan, anak ini bisa memaafkan saya. Kami pelukan, alhamdulilah akhirnya bisa menjadi teman. Itu yang paling membekas.

Deradikalisasi tidak sebanding dengan penyebaran radikalisme?
Ini benar. Kami menjadikan orang untuk bunuh diri itu cukup 2 jam saja. Tapi untuk mencabut pemikiran itu perlu berbulan-bulan, bahkan tahunan. Gampang menciptakan orang untuk punya pemahaman radikalisme dibanding mencabutnya. Sehari-hari seperti itu saya rasakan memang sulit sekali.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved