Wawancara Eksklusif

Wawancara dengan Terpidana Kasus Bom Bali, Ali Imron: Saya Berteman dengan Anak Korban

Ia kerap diundang menjadi pembicara untuk menceritakan penyesalannya atas perbuatan yang pernah dilakukan.

Editor: Soegeng Haryadi
TRIBUNNEWS
Ali Imron 

TERPIDANA kasus Bom Bali, Ali Imron kini giat mengkampanyekan deradikalisasi. Ia kerap diundang menjadi pembicara untuk menceritakan penyesalannya atas perbuatan yang pernah dilakukan. Ia juga telah meminta maaf kepada para korban yang disampaikan saat peringatan 17 tahun Bom Bali I. Kala itu, Ali bertemu dengan Garil Arnandha, anak dari korban meninggal akibat Bom Bali I, Aris Munandar, yang kini sudah dewasa. Berikut petikan wawancaranya.

**********************

Kegiatan sehari-hari Mas Ali Imron apa?
Para pemirsa yang saya hormati, kegiatan saya karena posisi saya sebagai narapidana, dan saya resminya berada di Lapas Cipinang, Jakarta, tapi masih ditempatkan di rutan narkoba Polda Metro Jaya. Tugas saya sehari-hari membina para tahanan narkoba maupun tahanan umum yang ada di Polda Metro Jaya. Selanjutnya adalah deradikalisasi. Ini saya lakukan kepada siapa saja, para pembesuk, baik kenal tidak kenal, itu yang saya lakukan. Bahkan ke tahanan narkoba syaa lakukan seperti itu. Sosialisasi tentang terorisme itu masih kurang sekali, terutama di negara kita Indonesia. Minimal masyarakat paham apa faktanya terorisme, sehingga paham seperti itu bisa kita deradikalisasi atau tanggulangi aksi terorisme di Indonesia.

Cara deradikalisasi kepada napi?
Hampir semua orang baik tahanan maupun orang di luar. Ketika mendengar nama saya penasaran. Penasaran paling tidak mereka akan tanya, sebetulnya apa yang terjadi? Ketika tanya seperti itu ataupun belum tanya sudah saya ceritakan. Kenapa saya bisa masuk penjara, kenapa ada pengeboman? Dari situ jadi rentetan cerita yang itu bermanfaat sekali buat saya untuk mendakwahkan atau menyuarakan deradikalisasi. Yang terpenting yang biasa saya sampaikan pertama adalah latar belakang kami. Kenapa kami memiliki paham radikalisme atau terorisme? Kedua kenapa kami bisa lakukan pengeboman? Kami ini bukan tentara, bukan Gegana Polri, kok bisa. Selanjutnya adalah tujuan kami ini apa sehingga kita melakukan aksi yang akhirnya dunia menamai itu aksi teror atau kami dilabeli sebagai teroris. Selanjutnya berkenaan dengan latar belakang dan tujuan, ketika saya sudah sadar, apa yang harus kita lakukan untuk supaya orang kita tidak terlibat lagi atau tidak memiliki paham terorisme? Intinya itu yang saya sampaikan.

Secara berkala bertemu Napiter, apakah menyediakan waktu khusus?
Saya pun difasilitasi oleh Densus 88 untuk bertemu dengan mereka. Tetapi karena sekopnya hanya di Polda Metro Jaya, maka tidak banyak, tapi itu penting sekali karena ada kawan-kawan yang dulu satu Jamaah Islamiyyah, kemudian ada kawan-kawan yang bergabung sama ISIS, menurut saya cukup mewakili.

Yang sudah saya temui sekitar 80 napi tindak pidana terorisme. Walaupun mereka juga Napiter, mereka juga belum tentu tahu tentang cerita kami.

Sebetulnya saya ini bisa dikatakan yang pertama ditangkap sebagai Narapidana terorisme kasus bom Bali, jadi itu saya ceritakan dulu. Artinya bagaimana sehingga kami melakukan pengeboman di Bali, ketika saya ceritakan akan sampai pada hal-hal yang akhirnya membuat saya mengkampanyekan kesadaran saya? Dengan sendirinya seperti itu. Jadi saya ceritakan semuanya, dari pertama pertemuan di Solo saya diajak perencanaan, pembagian tugas pengeboman di Bali.

Sampai ketika kami mempersiapkan pengeboman, itu semuanya saya ceritakan. Dari yang besar sampai kecil sampai sedetail-detailnya.

Ketika sudah memahami seperti itu baru ada pertanyaan. Kenapa saya harus berselisih dengan pimpinan dan kakak saya, Muklas. Kemudian dengan Amrozi dan Imam Samudera.

Itu semua saya jawab sesuai dengan fakta, tidak saya tutupi sama sekali. Jadi itu yang saya omongkan kepada mereka.

Apa respons mereka?
Cerita untuk menyadarkan mereka bahwa kesalahan-kesalahan yang kita dalam berjihad, bertentangan dengan jihad yang benar itu jangan terulang lagi.

Saya ajak mereka supaya kita bersama-sama mengkampanyekan, sehingga minimal tidak terjadi lagi pengeboman.

Kalau masalah pemikiran itu lebih sulit, untuk menghilangkan pemikiran (radikal) itu. Tapi setidaknya jangan sampai ada jihad yang bertentangan dengan fikih jihad atau adat tentang jihad.

Di antara 80 orang yang pernah anda ajak ngobrol adakah yang resist?
Kalau selama ini saya lihat, merespons setuju dengan apa yang saya lakukan. Bahkan yang sudah bebas akhirnya datang membesuk saya, kemudian ikut menyadarkan kawan-kawan atau ikut melakukan mendakwahkan agar tidak terjadi lagi aksi-aksi pengeboman atau aksi teror di Indonesia.

Semua merespons baik. Saya sampaikan pada mereka, karena mungkin ketika mereka di luar, sebelum mereka ketangkap, sebelum mereka ketemu saya, mungkin mereka juga banyak yang menyalahkan saya atau yang mengecap bahwa saya penghianat. Makanya selalu saya katakan, kalau kita itu teroris boleh sombong, saya teroris yang paling berhak sombong di Indonesia ini. Karena sampai sekarang belum ada yang menyamai keterlibatan dengan aksi teroris yang melebihi saya.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved