Perilaku Konsumen

Pandemi, Perilaku Konsumen, dan Konsep Halalan thayyiban

Pandemi Covid19 telah berlangsung lebih dari satu tahun. Mewabahnya Virus tersebut di­duga kuat berkembang dari pola konsumsi manusia yang "salah"

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Pandemi, Perilaku Konsumen, dan Konsep Halalan thayyiban
ist
Dr. Maftukhatusolikhah, M.Ag

Atau menyebabkan hilangnya kewarasan akal manusia, termasuk dalam kategori makanan dan minuman yang tidak halal (haram) untuk dikon­sumsi.

Makanan yang termasuk dalam kategori haram lainnya adalah makanan yang memiliki kriteria bertaring dan berkuku tajam, atau disebut hewan buas.

Hewan yang tidak ter­ma­suk jenis hewan yang haram dimakan dagingnya seperti disebutkan di atas, adalah halal se­lama kematiannya dilakukan dengan cara disembelih, dan penyembelihannya dilakukan dengan menyebut nama Allah.

Selain haram karena zatnya atau secara materi diharamkan menurut syariat seperti jenis-jenis yang disebutkan di atas, maka sesuatu makanan a­tau­pun barang konsumsi lainnya bisa jadi diharamkan karena cara memperoleh, mengolah, a­­taupun cara memanfaatkannya yang kurang efisien atau tabdzir. 

Manusia dapat me­ne­ruskan kelangsungan hidup dengan makanan dalam batasan yang ditentukan Allah SWT.

Makanan halal adalah makanan terbaik untuk manusia.

Benang merah dari bahasan mengenai perilaku konsumen dan konsep halalan thayyiban adalah bahwa konsep maslahah yang bertumpu pada kriteria pemenuhan kebutuhan (need fullfillment) lebih obyektif ketimbang konsep kepuasan (utility) yang menjadi pijakan ka­langan konvensional. 

Maslahah lebih obyktif karena didasarkan pada pertimbangan ob­yek­tifitas (kriteria tentang halal dan baik).

Sehingga, suatu benda ekonomi dapat dipu­tus­kan apakah memiliki kemaslahatan atau tidak secara konklusif dan mudah.

Sedangkan uti­litas yang dianut pemikiran konvensional mendasarkan pada kriteria yang lebih sub­yektif, sehingga dapat berbeda antara satu konsumen dengan konsumen lain.

Maslahah individu relatif konsisten dengan maslahah sosial, tetapi utilitas individu se­ring kali bertolakbelakang dengan utilitas sosial.

Hal itu disebabkan karena dasar penen­tuannya yang lebih obyektif ketimbang yang kedua, sehingga mudah diperbandingkan, di­analisis dan disesuaikan antara individu dan sosial.

Misalnya, minuman keras memiliki utilitas bagi yang menyukainya secara individual, tetapi tidak memiliki utilitas secara komunal atau sosial.

Maslahah juga mendorong terpenuhinya kesejahteraan konsumen dan produsen.

Jika mas­lahah menjadi tujuan dari seluruh pelaku ekonomi (konsumen, produsen dan di­stri­butor), maka semua aktifitas ekonomi masyarakat baik konsumsi, produksi dan distribusi akan mencapati tujuan yang sama.

Halaman
1234
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved