Bilangan dalam Naskah Palembang

Mengenal Satuan Bilangan dalam Naskah Palembang

SEBAGAI salah satu pusat peradaban di Nusantara, Palembang memiliki hasanah kekayaan budaya yang luar biasa, tidak terkecuali dengan satuan

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Mengenal Satuan Bilangan dalam Naskah Palembang
sripo/dok
Dr Muhammad Adil, MA

Rombongan itu kemudian tiba di Muka Upang, yang sampai kini tempat yang disebutkan itu masih ada, dan berada persis di pinggir Sungai Musi sebelah Timur Palembang.

Karena sukses dalam ekspedisi militer itu, maka Dapunta Hyang membuat Wanua pada 5 Asada (16 Juni 682).

Kedua, satuan bilangan yang disebut dengan keti (seketi). Satuan bilangan ini sering dijumpai dalam manuskrip karya ulama Palembang.

Ternyata, jika dilakukan penelusuran, satuan bilangan ini juga dikenal dalam naskah Nagarakertagama karya Empu Prapanca, misalnya pada Pupuh XIII dengan sebutan kati (huruf kedua, “a”).

Kata ini terlihat ketika menjelaskan hubungan Majapahit dengan Tanjungpura di Kalimantan, berita berasal dari dinasti Ming: “…Hyawang dan pamannya konon memberitahukan bahwa kerajaannya setiap tahun membayar upeti sebanyak empatpuluh kati kapur barus kepada raja Jawa, mereka mohon agar kisar mengeluarkan pengumuman tentang pembatalan upeti itu agar upeti itu dapat dikirim ke negara kaisar”.

Empatpuluh kati sesuai dengan bahasa yang digunakan dalam naskah Negarakertagama, menurut para ahli dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa Melayu Kuno.

Penggunaan Bahasa Melayu kuno ini penting untuk menjadi perhatian, karena prasasti Kedukan Bukit juga menggunakan Bahasa Melayu kuno. 

Selain itu, untuk memeroleh gambaran yang lebih jelas tentang satuan bilangan kati, maka saya akan meminjam istilah yang digunakan untuk menyatakan nilai atau harga tanah pada periode abad ke-9 sampai ke-10.

Pada masa ini, terdapat dua prasasti yang dapat dijadikan sampel, yaitu prasasti Sumpit (tahun 878M) dan prasasti Hering (934M).

Prasasti yang Sumpit menyebutkan peristiwa jual beli tanah sawah seluas 3 tampah dengan harga emas senilai satu kati (emas satu kati). 

Kati dalam konteks ini, digunakan untuk menjelaskan tentang ukuran berat. Karenanya, satu kati hampir sama beratnya dengan 750 gram.

Para ahli sepertinya membedakan penggunaan istilah kati dengan keti.

Jika kati untuk menyatakan ukuran berat, maka keti tampaknya mirip dengan yang digunakan dalam prasasti Kedukan Bukit, dan juga dalam berbagai naskah karya ulama Palembang yaitu untuk menyatakan satuan bilangan.

Perbedaan ini terjadi karena uang kala itu berupa lempengan emas, perak, dan tembaga.

Lempengan uang yang terbuat dari tembaga adalah jenis mata uang yang paling rendah nilainya disebut dengan istilah picis.

Halaman
1234
Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved