Kampus Merdeka
Merdeka Belajar Dalam Kampus Merdeka, Seperti apa?
Kebaruan terobosan mendikbud setelah mencermati keberlangsungan pendidikan tinggi selama ini mendatangkan kegelisahan tersendiri.
Menanggapi butir pertama kebijakan yang diluncurkan, terlihat adanya upaya percepatan untuk memosisikan keotonomian perguruan tinggi dalam meningkatkan kiprah lembaga dan keberdayaan alumninya.
Untuk itu melalui kebijakan ini, PTS dan PTN diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan organisasi luar negeri atau universitas yang berada dalamQS Top 100 World Universities.
Keadaan ini berdampak pada munculnya program studi baru yang tentu saja diharapkan akan banyak peminatnya.
Situasi ini terkadang dapat membawa keterpurukan bagi PT yang belum memiliki kemampuan untuk membuat terobosan kerjasama.
Tipis harapan rasanya akan ada organisasi atau perguruan tinggi besar yang mau bekerja sama dengan perguruan tinggi yang dianggap jauh di bawah standar.
Tentu saja tidak semua Perguruan Tinggi atau organisasi besar seperti itu.
Namun yang pasti bahwa kebijakan butir pertama ini jelas mengarah pada perubahan orientasi lulusan yang sudah memiliki kemampuan konkret dari keilmuannya.
Pesan yang dalam jelas sudah disampaikan bahwa perkembangan dunia pendidikan saat ini harus mampu mengiringi kebutuhan riil masyarakat.
Program studi yang masih mengandalkan kekuatan teoretis perlu segera menyesuaikan dengan kebutuhan.
Belajar tentang ilmu bahasa, tentu tidak belajar tentang teori bahasa (walau ini tentu perlu).
Namun mampu memanfaatkan bahasa sebagai sarana untuk pelbagai kebutuhan, misalnya komunikasi yang akurat untuk pelbagai transaksi dan persoalan sosial kemasyarakatan lainnya, tentu lebih diutamakan.
Menyikapi kebijakan kedua, untuk saat ini masih diperlukan kontrol yang kuat dari lembaga penetap peringkat.
Salah satu kebiasaan yang sudah harus diubah adalah, dalam menghadapi akreditasi, lembaga PT cenderung akan berjuang mati-matian untuk mengejar peringkat.
Putusan peringkat akreditasi, saat ini adalah nyawa bagi keberlangsungan program studi atau perguruan tinggi tersebut.
Keinginan untuk akreditasi yang sukarela, tentu membawa angin segar sekaligus memunculkan pertanyaan.