Pajak Restoran Omzetnya Minimal Rp 200 Ribu Sebulan, Pedagang Nasi Uduk Siap-siap Masuk Daftar

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) perubahan atas Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2018 tentang pajak daerah diklaim tidak bersahabat dengan UMKM.

Editor: Refly Permana
SRIPOKU.COM/SYAHRUL HIDAYAT
Salah pegawai UMKM Hj Cek Tura sedang menjemur kemplan panggang. Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) perubahan atas Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2018 dianggap tidak bersahabat dengan para pelaku UMKM di Palembang. Foto diambil beberapa waktu yang lalu. 

SRIPOKU.COM PALEMBANG - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) perubahan atas Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2018 tentang pajak daerah diklaim tidak bersahabat dengan pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Hal itu diungkapkan, Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) IV, M Hibbani, usai melakukan rapat Pansus bersama Badan Pengelolaan Pajak Daerah (BPPD) Palembang, Selasa (21/1/2020).

"Setelah saya pelajari secara mendalam, Raperda tentang perubahan atas Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2018 tentang pajak daerah, sangat tidak bersahabat bagi UMKM," katanya.

Pemkot Palembang Sedang Berupaya Menagih Pajak PBB 2019 Senilai Rp 1,2 M di Sebuah Hotel dan Mal

Pria yang menjabat Ketua Fraksi PKS DPRD Palembang ini mengatakan, Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang harusnya mengkaji lebih mendalam sebelum mengajukan Raperda.

Ia mengemukakan beberapa pendapat, pertama, soal pajak restoran yang merupakan pajak daerah, yang betul-betul menyentuh lapisan masyarakat paling bawah, sehingga pemungutan pajaknya harus dikalkulasi dengan baik agar tidak menimbulkan gejolak.

Berbeda dengan pajak daerah lainnya, misalnya pajak hotel yang menyasar pemilik hotel, kos-kosan atau bangunan sejenis yang dimiliki oleh masyarakat menengah. restoran, warung makan, kios makan sebagian dimiliki oleh masyarakat kecil.

"Jika pemerintah kota memaksakan batas omzet dikenakan pajak restoran sebesar Rp 6.000.000 per bulan, atau sama dengan Rp 200.000 per hari.

Itu sama saja Pemkot Palembang akan memungut pajak dari pedagang nasi uduk yang berhasil menjual dagangannya 20 bungkus sehari ( dengan asumsi harga Rp.10.000 per bungkus ). Dan ini akan membebani BPPD sendiri, dimana BPPD akan direpotkan, menagih pajak kepada wajib pajak, padahal jumlahnya tidak material," ujarnya.

Alasan Ini yang Bikin Pajak dari Pengusaha Sarang Walet di Lubuklinggau Sulit Ditarik

Selanjutnya, lulusan Sekolah Tinggi Akuntasi Negara (STAN) ini mengatakan, Pemkot Palembang tidak menemukan alasan yuridis dari mana angka omset Rp 3 juta per bulan, berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2018 dan omset Rp 6 juta per bulan berdasarkan Raperda menjadi limit wajib pajak (WP) untuk dikenakan pajak restoran.

"Jika kita menilik definisi usaha mikro berdasarkan UU Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM disana didapatkan bahwa usaha mikro adalah usaha yang memiliki omzet sampai dengan Rp 300.000.000 per tahun atau sama dengan Rp. 25.000.000 per bulan.

Jika Pemkot Palembang memiliki tekat untuk melindungi UMKM khususnya usaha mikro, maka limit yang paling pas untuk dijadikan patokan pengenaan Pajak Restoran adalah omset Rp 25.000.000 per bulan, bukan omset Rp 6.000.000 per bulan," tandasnya.

Ditambahkannya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah, dimana dalam pasal 27, diatur tentang kewajiban pembukuan dan pencatatan untuk usaha dengan omset di atas Rp 300.000.000 per tahun.

Tekan Pendapatan Pajak Kendaraan, Beli Motor Bekas di Sumsel Diwajibkan Langsung Balik Nama

"Itu artinya, PP yang merupakan turunan dari UU pajak daerah ini memandang bahwa angka Rp 300.000.000 per tahun sama dengan Rp 25.000.000 per bulan merupakan limit yang pantas untuk menilai sebuah usaha sudah bisa melakukan pencatatan dan pembukuan, data pencatatan dan pembukuan inilah menjadi dasar bagi WP untuk menghitung pajak terutang," bebernya.

Ia melanjutkan, PAD Palembang di tahun 2020 adalah sebesar Rp 1, 8 T, dimana 81 persennya sekitar Rp 1,5 T, berasal dari pajak daerah, sedangkan 3,44 persen atau sebesar Rp 63 M berasal dari kekayaan yang dipisahkan atau BUMD, dominannya pajak daerah masih wajar.

Namun, yang perlu di perhatikan porsi BUMD yang sangat kecil.

Halaman
12
Sumber: Tribun Sumsel
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved