Liputan Eksklusif
Buzzer Pilkada Patok Rp 30 Juta
Aksi buzzer mendengungkan isu-isu panas untuk membesarkan branding tokoh politik atau pasangan calon yang didukung.
Penulis: Odi Aria Saputra | Editor: Soegeng Haryadi
PALEMBANG, SRIPOKU.COM -- Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sumsel yang beralangsung di tujuh kabupaten, tim buzzer atau pendengung mulai bermunculan. Mereka mematok tarif untuk mendongkrak popularitas paslon hingga menyebar hoaks terhadap rival paslon yang mereka dukung.
Gemuruh buzzer kian riuh jelang Pemilukada 2020 dengan bersembuyi di balik topeng mengatasnamakan sebagai suara publik di media sosial. Aksi buzzer mendengungkan isu-isu panas untuk membesarkan branding tokoh politik atau pasangan calon yang didukung.
Para buzzer paslon yang punya kemanpuan kelas wahid membentuk opini publik bergerak di media sosial seperti instagram, facebook, twitter dan whatsapp messenger. Untuk pendongkrak popularitas seorang paslon mereka membuat isu politik hingga konten hoaks demi memenangkan hati pemilih.
• Buzzer Pilkada Bermunculan, Ini Kata Pengamat Politik
• Banting Tulang Calon Independen Pilkada PALI Kumpulkan KTP, Tetap Komunikasi dengan Parpol
Didi, seorang buzzer di Palembang kepada Sripo mengaku jelang Pilkada Sumsel ini ia bersama timnya sudah diajak gabung oleh salah satu tokoh untuk membantu menaikkan popularitasnya. Ia mengakui media sosial menjadi alat terbaik untuk memberikan konten-konten tepat sasaran kepada publik di Sumsel.
Ketika akan menggiring opini publik pada Pilkada, mereka biasanya akan membuat konten pengdongkrak paslon, kemudian akan memviralkan pesan tersebut dengan akun-akun palsu yang telah disiapkan.
"Untuk di awal ini kami meningkatkan popularitas klien dulu. Dengan mendengungkan prestasinya di dunia maya," katanya, Sabtu (7/12).
Diakuinya, dalam bekerja menjadi tim buzzer ia memiliki enam orang rekan yang masuk dalam satu tim. Para anggota buzzer memiliki peran masing-masing di media sosial untuk menyebarkan konten yang akan diproduksi.
Dalam pola kerjanya, pria yang sudah lima tahun menjadi seorang buzzer ini mengaku mereka bakal menyiapkan suatu konten terlebih dahulu seperti mengolah berita menjadi hoaks, memotong video asli kemudian di edit. Setelah, manuver dirasa cocok maka mereka akan menyerbu dari seluruh sektor sosial media secara masif.
Ia mencontohkan saat melakukan serangan terhadap lawan politik kliennya. Ketika musuh yang dihadapi adalah petahana, maka mereka akan membantah kesuksesan petahana atas pembangunan atau program yang sudah ia garap selama menjabat.
Dengan melakukan manuver serangan membuka keburukan kinerja si calon lawan, ia mengaku cara tersebut sangat efektif untuk menarik hati masyarakat yang bermain sosial media berpaling pilihan. Terlebih, untuk para pemilih yang merupakan swing voter pasti akan memilih paslon unggulan si buzzer.
"Misal si A itu petahana, kita sebagai buzzer harus rajin memposting kegagalan dia, seperti angka pengangguran dan jalan-jalan rusak selama ia memimpin," ungkapnya.
Ketika akan melakukan kerjasama dengan si klien, Didi menerangkan bahwa mereka akan menawarkan pola kerja dengan target awal enam bulan untuk menaikkan popularitas si klien di dunia maya.
Untuk tarif awal, Didi biasanya mematok harga Rp 20-30 juta perbulan untuk akomodasi tim dalam bekerja di dunia maya. Target awal bekerja mereka di enam bulan awal menaikkan popularitas, jika target tak tercapai tim buzzer siap mundur. Namun, apabila memenuhi ekspektasi maka mereka akan minta biaya tambahan berupa uang kuota dan ongkos akomodasi.
"Kita fair saja, kalau tidak sampai target kita mundur. Jika klien mau lanjut kita minta tambah fasilitas," ujarnya.
Sedangkan M Nata, seorang buzzer mengungkapkan pada Pilwako Palembang tahun 2018 ia juga ikut andil menjadi tim salah satu paslon yang bergerak melalui dunia maya. Dalam menjalankan tugasnya, pria berkacamata ini ditugaskan untuk menyebar konten negatif dan kampanye hitam para pesaingnya di facebook.