Liputan Eksklusif
Buzzer Pilkada Patok Rp 30 Juta
Aksi buzzer mendengungkan isu-isu panas untuk membesarkan branding tokoh politik atau pasangan calon yang didukung.
Penulis: Odi Aria Saputra | Editor: Soegeng Haryadi
Dengan menyiapkan beberapa akun-akun bodong, ia secara cepat menyebarkan beberapa konten negatif mengenai pesaing kliennya ke dalam fanspage wong Palembang yang diikuti ribuan follower.
"Kita sebarkan konten kemudian ke fanspage, kemudian akun bodong akan mengkomentari dan membagikan ulang sehingga akan menjadi viral," jelasnya.
Ia mengatakan, media sosial menjadi tempat yang nyaman karena algoritme mengatur konten yang pengguna sukai. Fenomena ini dinamakan Echo Chamber yang berarti pengguna media sosial berada di lingkungan pertemanan yang berpikiran serupa.
"Jadi kita siapkan dua konten, satu untuk yang pro kita bagikan kehebatan si klien. Kemudian untuk yang kontra kita sebarkan postingan negatif untuk menarik hati para pemilih," ungkapnya.
Nata membeberkan, pada Pilwako Palembang dirinya berperan sebagai pemimpin dari sebuah tim kecil yang berjumlah sepuluh orang. Tim ini memiliki ratusan akun media sosial. Sepuluh orang itu berfungsi untuk mendorong isu-isu pesanan untuk menyerang atau bertahan di media sosial.
Dalam bekerja di media sosial, mereka memiliki formula trending topic. Volume jumlah postingan, seberapa banyak jumlah volume tersebut dalam suatu waktu, kemudian postingan tersebut diposting ulang oleh warganet dari wilayah yang dituju.
"Tahun kemarin tim kita satu paket Rp 20 juta plus fasilitas sekretariat dan uang kuota. Di Pilkada Sumsel ini sudah ada penjajakan ke beberapa tokoh. Namun belum deal harga," ungkap Nata.
Ia menyebut, pada pemilihan legislatif 2019 kemarin sempat mendapatkan tawaran kontrak kerja Rp 200 juta untuk masa kerja jadi buzzer selama 6 bulan. Akan tetapi, ia menolak tawaran tersebut dikarenakan si caleg meminta komitmen apabila gagal menang meminta uang kembali full.
"Tugas kita membranding si calon. Untuk pasti menang tidak bisa menjamin, itulah tidak kami ambil job itu," ungkapnya.
MC, salah seorang ketua timses Palembang mengaku penggunaan buzzer sangat efektif untuk mendongkrak popularitas seorang tokoh politik. Pada pilkada Palembang lalu, ia menggunakan jasa para pengiat medsos ini tidak berhasil membawa nama si calon kepala daerah dikenal masyarakat luas.
"Efektif sekali, bos saya dulu awalnya kurang dikenal. Lalu popularitasnya terus naik dan bisa ikut bertarung meski pada akhirnya kalah," katanya.
Pengamat media sosial Palembang, Candra Baturajo menjelaskan, pertama kali penggunaan buzzer saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Namun saat itu, penggunaan buzzer ini masih sangat minim sebab media sosial pada saat itu belum terlalu banyak. Otomatis para pelakunya hanya bisa bermain dalam twitter dan facebook.
"Kemunculan twitter di tahun 2009 menjadi awal mula hebohnya buzzer. Barulah pada 2012 dan 2014 'boom' buzzer baru berperan di setiap pemilu," terangnya.
Meski demikian, alumnus perguruan tinggi negeri Palembang ini mengaku permainan buzzer di Palembang masih masuk dalam kategori standar dan tidak sampai menyebarkan black campaign membahayakan yang menimbulkan perpecahan seperti pada Pilpres 2019 kemarin.
"Di Jawa hampir seluruh medsos jadi senjata. Kalau di Palembang itu kebanyakan mainnya di facebook. Dan pola kontennya juga sebatas menaikan popularitas dan menyerang. Namun tidak sampai membuka aib pesaingnya," ujarnya. (oca)