Fakta Menarik Jam Gadang Bukittinggi, Cuma Ada 2 di Dunia, Bandul Jarum Patah dan Tersimpan Misteri!

Fakta Menarik Jam Gadang Bukittinggi, Cuma Ada 2 di Dunia, Bandul Jarum Patah dan Tersimpan Misteri!

Penulis: Tria Agustina | Editor: Welly Hadinata
Vizitrip.com
Fakta Menarik Jam Gadang Bukittinggi, Cuma Ada 2 di Dunia, Bandul Jarum Patah dan Tersimpan Misteri! 

Jam ini milik raja Perancis King Louis XIV yang dipesan khusus pada pembuat jam kerajaan.

Dibuat tanpa rangka besi dan semen

Dengan luas alas 13×4 meter dan tinggi 26 meter, kamu percaya nggak kalau menara kokoh ini dibuat tanpa rangka besi dan semen?

Faktanya, pembangunan Jam Gadang hanya menggunakan campuran putih telur, kapur dan pasir putih lho!

Jam Gadang menjadi salah satu bukti kehebatan teknik pembangunan zaman dulu.

Jam Gadang
Jam Gadang (White Horse)

Sudah 3 kali berganti bentuk atap

Sejak dibangun pada tahun 1926, Jam Gadang sudah mengalami tiga kali pergantian bentuk atap.

Awalnya atap berbentuk bulat dan terdapat patung ayam jantan di atasnya yang menghadap ke Timur.

Renovasi pertama dilakukan saat masa pendudukan Jepang, atap Jam Gadang dibuat menyerupai pagoda.

Lalu segera diubah selepas Indonesia merdeka, menjadi seperti atap Rumah Gadang sesuai adat Minangkabau.

Kemudian renovasi terakhir baru dilakukan padfa tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI). 

Jam Gadang
Jam Gadang (Histori)

Keunikan Jam Gadang

Dibalik pembuatannya, ternyata Jam Gadang memiliki keunikan tersendiri, yaitu angka Romawi yang terdapat pada jam tersebut.

Tulisan angka empat yang ada di jam tersebut menyimpang dari pakem, karena tertulis IIII, bukan IV.

Di sinilah letak keunikannya. Angka empat romawi yang seharusnya ditulis IV malah ditulis dengan angka satu berjejer empat (IIII).

Keunikan penulisan angka pada jam tersebut menyisakan tanda tanya besar bagi setiap orang yang melihatnya.

Apakah penulisan angka tersebut merupakan sebuah kesalahan dalam pembuatannya, atau memang sebuah patron kuno untuk angka romawi?

Ada beragam versi cerita terkait penulisan angka Romawi tersebut yang beredar di tengah masyarakat, diantaranya adalah:

Pendapat  yang menyebut bahwa angka IIII pada Jam Gadang merujuk pada kecemasan Belanda terhadap simbol IV yang merupakan singkatan “I Victory” yang memiliki arti “Aku Menang”.

Belanda takut angka IV menjadi pemicu semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk merdeka.

Pendapat yang meyakini bahwa angka IIII merujuk pada jumlah korban tewas sebagai tumbal dalam pembangunan menara jam tersebut.

6 Tips Perawatan Ala Rumahan untuk Cegah Belang Pada Leher, Cerah dan Cantik dengan Bahan Alami

Bukan Cuma Pempek, 10 Makanan Khas Palembang Ini Haram Dilewatkan, Dijamin Enak Tiada Duanya!

Kurangi Kadar Gula pada Nasi Putih dengan 8 Cara Ini, Tips Mudah Hindari Gemuk hingga Diabetes

Pendapat yang menjelaskan bahwa alasan penggunaan angka IIII semata-mata hanya karena masalah teknis.

Apabila angka IV yang digunakan, maka pandai besi harus membuat huruf X sebanyak 4 batang, huruf I sebanyak 16 batang dan huruf V sebanyak 5 batang.

Yang jadi masalah, pada zaman itu pandai besi hanya bisa ekonomis jika membuat besi dalam kelipatan empat.

Jika angka empat ditulis dengan simbol IV, maka akan ada satu 3 batang huruf V yang terbuang.

Karena alasan ekonomis tersebut, akhirnya pandai besi membuat angka empat dengan simbol IIII, bukan IV.

Pendapat dari versi lain menyebut bahwa pada awalnya, penomoran Romawi memang bervariasi.

Pada masa awal, angka empat memang ditulis IIII dengan empat huruf I. 

Hal ini dibuktikan pada jam matahari yang yang dibuat sebelum abad ke-19, hampir semuanya menggunakan IIII untuk angka empat.

Termasuk Jam Gadang, karena dibuat pada awal 19 maka penulisan angkat empat masih menggunakan simbol IIII.

Dilihat dari berbagi macam penjelesan di atas, maka penjelesan pada poin keempat lah yang dirasa masuk akal.

Jadi, sesungguhnya keunikan yang terjadi pada angka empat pada menara Jam Gadang hanya dirasakan oleh masyarakat modern saja.

Karena pada masa ini, angka empat dalam romawi selalu ditulis IV, bukan IIII.

Lalu bagaimana dengan menara Big Ben yang disebut-sebut sebagai kembaran Jam Gadang? Penulisan angka empat pada jam menara Big Ben menggunakan simbol IV, bukan IIII.

Jika merujuk pada pakem pembuatan jam dunia, maka jam yang terdapat pada menara Big Ben di Inggris telah melanggar konvensi per-jam-an.

Jam Gadang
Jam Gadang (Tribun Travel - Tribunnews.com)

Pariwisata Jam Gadang

Jam Gadang yang denah dasarnya berukuran 13×4 meter ini berdiri di atas kawasan Taman Sabai Nan Aluih di depan Istana Bung Hatta.

Di kawasan ini ditanam sejumlah pohon sehingga makin terasa rindang.

Pemerintah daerah juga melengkapinya dengan kursi-kursi beton untuk bersantai.

Taman ini selalu ramai, mulai pagi, siang, sore hingga malam hari.

Tua muda selalu memanfaatkan kawasan ini untuk bersantai.

Bahkan, banyak orang tua muda membawa putra-putrinya bermain di tempat ini pada sore hari.

Di kawasan ini juga tersedia andong atau sado yang disebut Bendi untuk berkeliling-keliling di kawasan pusat kota.

Untuk masyarakat biasa, tarif yang dikenakan biasanya Rp 2.500 jauh dekat.

Sementara khusus untuk wisatawan, tarifnya bisa membengkak hingga Rp 25.000-Rp 50.000 sesuai negosiasi.

Di dekatnya, terdapat pula Pasar Atas yang merupakan pusat perdagangan di Bukittinggi. Pasar ini biasanya ramai pada hari Rabu, Sabtu dan Minggu.

Berbagai barang dijual di pasar ini, mulai dari sayur dan buah-buahan, pakaian hingga berbagai macam kerajinan tangan berupa tenun, kerajinan perak, hingga kaus dan baju yang menunjukkan citra Minangkabau.

Semuanya dijual dengan harga miring.

Di Bukittinggi, banyak sekali obyek wisata yang bisa disambangi.

Namun Jam Gadang biasanya menjadi sentra para wisatawan sebelum beranjak ke obyek wisata lainnya.

Memilih beberapa penginapan yang berserakan di sekitar kawasan Jam Gadang juga dapat menjadi pilihan jika ingin secara leluasa melihat jam ini berpose pada waktu terang ataupun gelap, yaitu di sepanjang Jalan Laras Dt. Bandaro-jalan Soekarno Hatta-Jalan Dr. A. Rivai-Jalan Jenderal Sudirman.

Jika menengadah melihat puncak Jam Gadang pada waktu pagi hingga sore hari, kemegahannya tampak sempurna dengan didukung oleh latar belakang langit yang biru.

Sedangkan pada waktu malam, temaram lampu taman yang berwarna kuning membuat taman ini tampak eksotik dan romantis.

Pantang meninggalkan kawasan Jam Gadang tanpa foto.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved