Fakta Menarik Jam Gadang Bukittinggi, Cuma Ada 2 di Dunia, Bandul Jarum Patah dan Tersimpan Misteri!
Fakta Menarik Jam Gadang Bukittinggi, Cuma Ada 2 di Dunia, Bandul Jarum Patah dan Tersimpan Misteri!
Penulis: Tria Agustina | Editor: Welly Hadinata
Fakta Menarik Jam Gadang Bukittinggi, Cuma Ada 2 di Dunia, Bandul Jarum Patah dan Tersimpan Misteri!
SRIPOKU.COM - Berkunjung ke Sumatera Barat belum sah rasanya kalau tidak mampir ke Jam Gadang Bukittinggi.
Ikon kota Bukittinggi ini menjadi salah satu spot wisata andalan Indonesia yang dikenal hingga ke mancanegara.
Nama ‘Gadang’ diambil dari bahasa Minangkabau yang artinya besar.
Wujud Jam Gadang sendiri berupa menara tinggi besar, dengan atap seperti rumah khas Minang.
Di balik kemegahannya, Jam Gadang menyimpan fakta-fakta menarik yang belum banyak diketahui.
Ternyata pembangunannya tidak menggunakan besi dan semen sama sekali lho!
Yuk simak fakta lainnya di bawah ini seperti dirangkum Sripoku.com dari berbagai sumber.
• Keampuhan dan Keistimewaan Surat Al Fatihah, Diantaranya Sebagai Bacaan Rukyah untuk Pengobatan
• Sempat Alami Pendarahan, Syndrom Ini Penyebab Bayi Kembar Ammar Zoni dan Irish Bella Meninggal Dunia
• Sejarah Berdiri Jembatan Ampera, Sebagai Ikon Kota Palembang, Jembatan Kebanggaan ‘Wong Kito Galo’

Sejarah Pembangunan
Sejak awal berdirinya, lokasi Jam Gadang merupakan jantung kota Bukittinggi.
Padang, Sumatera Barat identik dengan keberadaan Jam Gadang.
Padahal Jam Gadang sendiri tak persis terletak di Kota Padang, melainkan di pusat kota Bukittinggi.
Dalam bahasa Indonesia, Jam Gadang berarti 'jam yang besar'.
Dan benar adanya, jam ini memang dibuat sangat besar.
Bangunan semacam tugu setinggi 26 meter dengan bulatan jam di keempat sisi bagian atasnya ini dibangun pada tahun 1826 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur atau Sekretaris Kota Bukittinggi waktu itu, Rook Maker.
Jadi, umurnya sudah lebih dari 180 tahun.
Pembangunannya diselesaikan oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh dan biaya pembangunan ‘hadiah’ ini mencapai 3.000 Gulden pada saat itu.
Jam ini terletak di dalam kawasan taman seluas 100 meter.
Di dekat taman terdapat Pasar Atas, yang merupakan pusat perdagangan di Bukittinggi.
Bentuk atap Jam Gadang telah mengalami tiga kali penyesuaian dari waktu ke waktu.
Pada jaman Belanda, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan di atasnya.
Pada waktu Jepang berkuasa di tanah air, mereka mengganti bentuk atapnya seperti atap klenteng.
Kemudian setelah kemerdekaan diproklamirkan, bentuk atapnya diubah menjadi bergonjong empat seperti atap rumah adat Minangkabau dan bermotifkan pucuk rebung.
Bagian atas Jam Gadang ini masih terlihat dari kawasan Jempatan Limpapeh yang berjarak sekitar 1 km dari lokasi.
• Cerita Anak Pemulung yang Kini Jadi Ratu Kecantikan, Dulu Cari Barang Bekas Kini Hidupnya Berubah
• Detik-detik Cita Citata Disebut Gila di Atas Panggung Oleh Music Director, Beri Surat Peringatan Ini
• Mulan Jameela Digugat 10 M, Ramalan 2 Peramal Ini Terbukti Benar, Istri Ahmad Dipenuhi Aura Gelap!

Hadiah pemberian Ratu Belanda
Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda pada sekretaris kota yang saat itu dijuluki Controleur.
Jam Gadang yang didatangkan langsung dari rotterdam Belanda, melalui Pelabuhan teluk bayur ini merupakan hadiah Ratu Belanda kepada sekretaris Kota Fort de kock atau Bukittinggi sekarang.
Arsiteknya adalah orang asli Indonesia yang juga merupakan karya Tokoh Minang bernama Yazin dan Sutan Gigi Ameh.
• Dikira Perawan Ting Ting, 5 Artis Ini Ternyata Janda Tanpa Anak, No 1 Marah Disebut Gila di Panggung
• Gubernur Sumsel Terjunkan Tim Arkeolog Selidiki Emas di Eks Lahan Gambut Terbakar
• Download Album Lagu Didi Kempot Paling Bikin Patah Hati: Lirik, Chord Gitar, Unduh MP3 di Sini
Mesin penggeraknya sama dengan Big Ben di London
Ada satu lagi bangunan di dunia yang bentuknya mirip Jam Gadang, yaitu Big Ben di London yang memang hanya 2 unit yang ada di dunia diproduksi oleh Pabrik Mesin Keluaran Jerman Bernama Vothmann relinghausen pada tahun 1892.
Usut punya usut, bukan hanya bentuknya yang mirip tapi mesin penggeraknya memang dibuat oleh orang yang sama.
Mesin penggerak manual bernama Brixlion ini dibuat oleh seorang bangsawan ternama bernama Forman.
Menurut sejarah, mesin Brixlion hanya ada dua di dunia yaitu sebagai penggerak Jam Gadang dan Big Ben.

Bandul jam sempat patah pada tahun 2007
Masih ingat bencana alam gempa bumi yang mengguncang Sumatera Barat pada tahun 2007? Gempa berkekuatan 5,8-6,4 skala richter ini terasa getarannya hingga ke Singapura dan Malaysia.
Banyak bangunan rusak dan 50 orang lebih meninggal dunia akibat rangkaian gempa yang terjadi dari 6-8 Maret 2007.
Salah satu bangunan yang terkena dampaknya adalah Jam Gadang.
Bandul penggerak Jam Gadang yang berada di lantai teratas putus, dan segera dilakukan penggantian.
Jadi bandul yang wisatawan lihat sekarang ini adalah versi baru.
• BREAKING NEWS Perempuan Indonesia Ditangkap di Filipina, Bawa Narkoba Senilai Rp 14 Miliar
• BERITA POPULER: Persib Kalah dari Madura United, Wasit Faulur Rosy Mendadak Jadi Sorotan
• Ngotot Jadi Putri Indonesia, Kelemahan Besar Rosa Mendianti tak Sengaja Terungkap, Pantes Dicap Halu

Ada keunikan pada penulisan angka ‘4’ dengan bilangan Romawi
Angka 4 pada bilangan Romawi biasa dituliskan dengan IV.
Tapi coba perhatikan Jam Gadang Bukittingi, angka 4 ditulis dengan IIII.
Beberapa sejarah menyebutkan penulisan ini diatur oleh pemerintahan Belanda yang kala itu menduduki Bukittingi.
Simbol IV diartikan sebagai I Victory, mengundang kecemasan Belanda akan menumbuhkan semangat perlawanan dari rakyat setempat pada mereka.
Namun sejarah ini belum diakui kebenarannya, mengingat ada satu lagi jam yang menggunakan angka IIII bukan IV.
Jam ini milik raja Perancis King Louis XIV yang dipesan khusus pada pembuat jam kerajaan.
Dibuat tanpa rangka besi dan semen
Dengan luas alas 13×4 meter dan tinggi 26 meter, kamu percaya nggak kalau menara kokoh ini dibuat tanpa rangka besi dan semen?
Faktanya, pembangunan Jam Gadang hanya menggunakan campuran putih telur, kapur dan pasir putih lho!
Jam Gadang menjadi salah satu bukti kehebatan teknik pembangunan zaman dulu.

Sudah 3 kali berganti bentuk atap
Sejak dibangun pada tahun 1926, Jam Gadang sudah mengalami tiga kali pergantian bentuk atap.
Awalnya atap berbentuk bulat dan terdapat patung ayam jantan di atasnya yang menghadap ke Timur.
Renovasi pertama dilakukan saat masa pendudukan Jepang, atap Jam Gadang dibuat menyerupai pagoda.
Lalu segera diubah selepas Indonesia merdeka, menjadi seperti atap Rumah Gadang sesuai adat Minangkabau.
Kemudian renovasi terakhir baru dilakukan padfa tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI).

Keunikan Jam Gadang
Dibalik pembuatannya, ternyata Jam Gadang memiliki keunikan tersendiri, yaitu angka Romawi yang terdapat pada jam tersebut.
Tulisan angka empat yang ada di jam tersebut menyimpang dari pakem, karena tertulis IIII, bukan IV.
Di sinilah letak keunikannya. Angka empat romawi yang seharusnya ditulis IV malah ditulis dengan angka satu berjejer empat (IIII).
Keunikan penulisan angka pada jam tersebut menyisakan tanda tanya besar bagi setiap orang yang melihatnya.
Apakah penulisan angka tersebut merupakan sebuah kesalahan dalam pembuatannya, atau memang sebuah patron kuno untuk angka romawi?
Ada beragam versi cerita terkait penulisan angka Romawi tersebut yang beredar di tengah masyarakat, diantaranya adalah:
Pendapat yang menyebut bahwa angka IIII pada Jam Gadang merujuk pada kecemasan Belanda terhadap simbol IV yang merupakan singkatan “I Victory” yang memiliki arti “Aku Menang”.
Belanda takut angka IV menjadi pemicu semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk merdeka.
Pendapat yang meyakini bahwa angka IIII merujuk pada jumlah korban tewas sebagai tumbal dalam pembangunan menara jam tersebut.
• 6 Tips Perawatan Ala Rumahan untuk Cegah Belang Pada Leher, Cerah dan Cantik dengan Bahan Alami
• Bukan Cuma Pempek, 10 Makanan Khas Palembang Ini Haram Dilewatkan, Dijamin Enak Tiada Duanya!
• Kurangi Kadar Gula pada Nasi Putih dengan 8 Cara Ini, Tips Mudah Hindari Gemuk hingga Diabetes
Pendapat yang menjelaskan bahwa alasan penggunaan angka IIII semata-mata hanya karena masalah teknis.
Apabila angka IV yang digunakan, maka pandai besi harus membuat huruf X sebanyak 4 batang, huruf I sebanyak 16 batang dan huruf V sebanyak 5 batang.
Yang jadi masalah, pada zaman itu pandai besi hanya bisa ekonomis jika membuat besi dalam kelipatan empat.
Jika angka empat ditulis dengan simbol IV, maka akan ada satu 3 batang huruf V yang terbuang.
Karena alasan ekonomis tersebut, akhirnya pandai besi membuat angka empat dengan simbol IIII, bukan IV.
Pendapat dari versi lain menyebut bahwa pada awalnya, penomoran Romawi memang bervariasi.
Pada masa awal, angka empat memang ditulis IIII dengan empat huruf I.
Hal ini dibuktikan pada jam matahari yang yang dibuat sebelum abad ke-19, hampir semuanya menggunakan IIII untuk angka empat.
Termasuk Jam Gadang, karena dibuat pada awal 19 maka penulisan angkat empat masih menggunakan simbol IIII.
Dilihat dari berbagi macam penjelesan di atas, maka penjelesan pada poin keempat lah yang dirasa masuk akal.
Jadi, sesungguhnya keunikan yang terjadi pada angka empat pada menara Jam Gadang hanya dirasakan oleh masyarakat modern saja.
Karena pada masa ini, angka empat dalam romawi selalu ditulis IV, bukan IIII.
Lalu bagaimana dengan menara Big Ben yang disebut-sebut sebagai kembaran Jam Gadang? Penulisan angka empat pada jam menara Big Ben menggunakan simbol IV, bukan IIII.
Jika merujuk pada pakem pembuatan jam dunia, maka jam yang terdapat pada menara Big Ben di Inggris telah melanggar konvensi per-jam-an.

Pariwisata Jam Gadang
Jam Gadang yang denah dasarnya berukuran 13×4 meter ini berdiri di atas kawasan Taman Sabai Nan Aluih di depan Istana Bung Hatta.
Di kawasan ini ditanam sejumlah pohon sehingga makin terasa rindang.
Pemerintah daerah juga melengkapinya dengan kursi-kursi beton untuk bersantai.
Taman ini selalu ramai, mulai pagi, siang, sore hingga malam hari.
Tua muda selalu memanfaatkan kawasan ini untuk bersantai.
Bahkan, banyak orang tua muda membawa putra-putrinya bermain di tempat ini pada sore hari.
Di kawasan ini juga tersedia andong atau sado yang disebut Bendi untuk berkeliling-keliling di kawasan pusat kota.
Untuk masyarakat biasa, tarif yang dikenakan biasanya Rp 2.500 jauh dekat.
Sementara khusus untuk wisatawan, tarifnya bisa membengkak hingga Rp 25.000-Rp 50.000 sesuai negosiasi.
Di dekatnya, terdapat pula Pasar Atas yang merupakan pusat perdagangan di Bukittinggi. Pasar ini biasanya ramai pada hari Rabu, Sabtu dan Minggu.
Berbagai barang dijual di pasar ini, mulai dari sayur dan buah-buahan, pakaian hingga berbagai macam kerajinan tangan berupa tenun, kerajinan perak, hingga kaus dan baju yang menunjukkan citra Minangkabau.
Semuanya dijual dengan harga miring.
Di Bukittinggi, banyak sekali obyek wisata yang bisa disambangi.
Namun Jam Gadang biasanya menjadi sentra para wisatawan sebelum beranjak ke obyek wisata lainnya.
Memilih beberapa penginapan yang berserakan di sekitar kawasan Jam Gadang juga dapat menjadi pilihan jika ingin secara leluasa melihat jam ini berpose pada waktu terang ataupun gelap, yaitu di sepanjang Jalan Laras Dt. Bandaro-jalan Soekarno Hatta-Jalan Dr. A. Rivai-Jalan Jenderal Sudirman.
Jika menengadah melihat puncak Jam Gadang pada waktu pagi hingga sore hari, kemegahannya tampak sempurna dengan didukung oleh latar belakang langit yang biru.
Sedangkan pada waktu malam, temaram lampu taman yang berwarna kuning membuat taman ini tampak eksotik dan romantis.
Pantang meninggalkan kawasan Jam Gadang tanpa foto.