Dialog Papua: Mencegah Konflik Berkepanjangan
Konflik dan kerusuhan di Papua seakan tidak pernah berhenti dan hingga kini belum ada solusi yang akurat.
Karena adanya persepsi terhadap operasi militer yang demikian, telah menyebabkan tersosialisasi secara massif di kalangan masyarakat Papua, dimanapun berada, di Papua, di Jawa, dan bahkan di luar negeri.
Terlebih, dengan adanya media sosial, menunjukkan semakin lebih mudah tersosialisasi pandangan tersebut, seperti kasus Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.
Tentu kasus Surabaya secara gradual akan semakin memperkuat solidaritas antarmereka sebagai bangsa Papua dan juga memunculkan simpatik ‘pihak luar’ yang sangat mungkin memang memiliki beragam kepentingan (vested interest).
Ketiga, pada sebagian besar anak muda Papua tampakterlihat radikal sebetulnya bisa juga adanya persepsi negatif terhadap masa lalu terhadap kekerasan militer dan persoalan HAM di Papua yang dipandang belum ada solusi substantif sebagai mana mestinya dimana militer me rasa aman terhadap masyarakat Papua.
Keempat, akumulasi dari ketiga persoalan diatas sebagai penyebab utama atas ‘akar’ konflik di Papua, telah memunculkan stigma di tengah masyarakat Papua, bahwa mereka merupakan masyarakat ‘kelas dua’ yang termarjinalkan.
Hal ini juga dapat diperkuat pula dengan kebijakan migrasi dan pembangunan dimana mereka merasa kurang dilibatkan atau terabaikan.
Akibatnya sentimen negatif terhadap migran pendatang tidak dapat dihindari, seperti terlihat amuk massa yang tidak jarang menyasar kepada etnistertentu yang non-Papua beserta aset-asetnya.
Hal ini bisa berpotensi munculnya masalah baru, berupa potensi konflik horizontal.
Dari beberapa ‘akar’ konflik yang bersifat internal diatas, agaknya mendorongnegara untuk ‘hadir’ dalam upaya resolusikonflik di Papua dengan merujuk kepada faktor-faktor utama (core of conflicts) sebagai ‘akar’ konflik di Papua.
Resolusi konflik di Papua tentunya memerlukan telaah mendalam terhadap ‘akar’ konflik tersebut sebagai konsideran kebijakan-kebijakan yang menyentuh kepada kebutuhan sosial (social needs) masyarakat Papua.
Cara pemerintah menyelesaikan kasus GAM-Aceh dan RMS-Maluku tentu patut diapresiasi dan dijadikan sebagai perbandingan dalam menuju resolusi.
Selain itu, faktor eksternal tidak kalah pentingnya menjadi analisis sebagai suatu‘akar’ konflik di Papua yang berkepanjangan.
Hal ini dapat dilihat bagaimana besarnya pengaruh bangsa asing terhadap Papua. Pada 1965, di era Orde lama, misalnya intervensibangsa Belanda terhadap Papua (Irian Jaya) yang seakan dengan terus berperan dalam konflik menciptakan dan menjaga konflik di Papua. Bendera Bintang Kejora disinyalir merupakan ciptaan bangsa Belanda dimana setiap ada konflik selalu dikibarkan sebagai simbol perjuangan tuntutan kemerdekaan.
Sama halnya dengan perjuangan separatismRepublik Maluku Selatan (RMS) pada masa lalu, dimana peran negeri Belanda juga begitu tampak setiap ada kerusuhan atau konflik di daerah tersebut.
Setidaknya setiap ada konflik sosial di daerah (Papua) tersebut, bendera Bintang Kejora pun selalu dikibarkan, meskipun barang kali bukanlah sebagai representatif aspirasi mayoritas orang Papua.