Dialog Papua: Mencegah Konflik Berkepanjangan

Konflik dan kerusuhan di Papua seakan tidak pernah berhenti dan hingga kini belum ada solusi ya­ng akurat.

Editor: Salman Rasyidin
SRIPOKU.COM/ODI ARIA SAPUTRA
Prof Abdullah Idi. 

Karena adanya persepsi terhadap operasi militer yang demikian, telah menyebabkan tersosialisasi secara massif di ka­lang­an ma­sya­rakat Papua, dimanapun berada, di Papua, di Jawa, dan bahkan di luar negeri.

Terlebih, de­ngan adanya media sosial, menunjukkan semakin lebih mudah tersosialisasi pan­dang­an tersebut, seperti kasus Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.

Tentu kasus Surabaya se­ca­ra gradual akan semakin memperkuat solidaritas antarmereka sebagai bangsa Papua dan juga me­munculkan sim­patik ‘pihak luar’ yang sangat mungkin memang memiliki beragam ke­pen­tingan (vested inter­est).

Ketiga, pada sebagian besar anak muda Papua tampakterlihat radikal se­betulnya bisa juga a­danya persepsi negatif terhadap masa lalu terhadap kekerasan militer dan persoalan HAM di Papua yang dipandang belum ada solusi substantif sebagai mana mestinya di­ma­na militer me­ rasa aman terhadap masyarakat Papua.

Keempat, akumulasi dari ketiga persoalan diatas sebagai penyebab utama atas ‘akar’ konflik di Pa­pua, telah memunculkan stigma di tengah masyarakat Papua, bahwa mereka merupakan ma­sya­­rakat ‘kelas dua’ yang termarjinalkan.

Hal ini juga dapat diperkuat pula dengan kebijakan mi­gra­si dan pembangunan dimana mereka merasa kurang dilibatkan atau terabaikan.

Akibatnya sen­­timen negatif terhadap migran pendatang tidak dapat dihindari, seperti terlihat amuk massa yang tidak jarang menyasar kepada etnistertentu yang non-Papua beserta aset-asetnya.

Hal ini bi­sa berpotensi munculnya masalah baru, berupa potensi konflik horizontal.

Dari beberapa ‘akar’ konflik yang bersifat internal diatas, agaknya mendorongnegara untuk ‘ha­dir’ dalam upaya resolusikonflik di Papua dengan merujuk kepada faktor-faktor utama (core of con­flicts) sebagai ‘akar’ konflik di Papua.

Resolusi konflik di Papua tentunya memerlukan te­la­ah men­dalam terhadap ‘akar’ konflik tersebut sebagai konsideran kebijakan-kebijakan yang me­nyen­tuh kepada kebutuhan sosial (social needs) masyarakat Papua.

Cara pemerintah menye­le­sai­kan kasus GAM-Aceh dan RMS-Maluku tentu patut diapresiasi dan dijadikan sebagai per­ban­dingan dalam menuju resolusi.

Selain itu, faktor eksternal tidak kalah pentingnya menjadi analisis sebagai suatu‘akar’ konflik di Papua yang berkepanjangan.

Hal ini dapat dilihat bagaimana besarnya pengaruh bangsa asing ter­hadap Papua. Pada 1965, di era Orde lama, misalnya intervensibangsa Belanda terhadap Pa­pua (Irian Jaya) yang seakan dengan terus berperan dalam konflik menciptakan dan menjaga ko­n­­flik di Papua. Bendera Bintang Kejora disinyalir merupakan ciptaan bangsa Belanda dimana se­tiap ada konflik selalu dikibarkan sebagai simbol perjuangan tuntutan kemerdekaan.

 Sama hal­nya dengan perjuangan separatismRepublik Maluku Selatan (RMS) pada masa lalu, dimana pe­ran negeri Belanda juga begitu tampak setiap ada kerusuhan atau konflik di daerah tersebut.

Se­ti­dak­nya setiap ada konflik sosial di daerah (Papua) tersebut, bendera Bintang Kejora pun selalu di­kibarkan, meskipun barang kali bukanlah sebagai representatif aspirasi mayoritas orang Papua.

Halaman
1234
Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved