Dialog Papua: Mencegah Konflik Berkepanjangan
Konflik dan kerusuhan di Papua seakan tidak pernah berhenti dan hingga kini belum ada solusi yang akurat.
Dialog Papua:
Mencegah Konflik Berkepanjangan
Oleh: Prof Abdullah Idi.
Guru Besar Sosiologi UIN Raden Fatah Palembang
Konflik dan kerusuhan di Papua seakan tidak pernah berhenti dan hingga kini belum ada solusi yang akurat.
Sejak Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, konflik Papua seakan terus terjadi dan berulang.
Kalau beberapa kasus konflik lainnya pada masa lalu dapat diselesaikan seperti kasus konflik Maluku dan Aceh (pernah minta Merdeka) serta Timor-Timur (minta referendum dan sudah merdeka), beda halnya dengan konflik Papua yang seakan belum ada suatu pendekatan dan solusi yang akurat.
Terbukti, setiap rezim (Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi) kasus Papua terus terjadi.
Tulisan ini, menganalisis faktor apa saja sebagai ‘akar’ konflik di Papua dan perlunya pendekatan dialog sebagai upaya merangkul kembali orang Papua sebagai bagian dari warga negara bangsa (nation state) Indonesia.
Diagnosa persoalan konflik Papua memiliki beragam perspektif. Dari perspektif ilmu sosial dalam keijakan pembangunan di Papua, setidaknya perlu memperhatikan faktor internal dan internal.
Faktor internal, dapat dikatakan bahwa sebagai evaluasi terhadap kebijakan yang telah dilakukan pemerintah terutama kebijakan dalam konteks sosio-historis pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi.
Dari studi yang pernah dilakukan LIPI (2011), menunjukkan bahwa setidaknya terdapat beberapa ‘akar’ konflik Papua dalam kontek bagian dari NKRI.
Pertama, persoalan sosio-historis dan status politik integrasi Papua ke Indonesia, dimana orang pada umumnya Papua berpandangan bahwa proses integrasi ke Indonesia belumlah benar.
Kedua, bertalian dengan operasi militer bertalian dengan konflik itu yang dipandang tidak terselesaikan.
Operasi militer pada Orde Lama (1965) hingga kini, orang Papua pada umumnya berpandangan sebagai kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).