Keteladan Bung Hatta

Mengenang Kembali Keteladan Bung Hatta

Dr. H. Mohammad Hatta dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902. Mohammad Athar, adalah nama yang diberikan orangtuanya.

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Mengenang Kembali Keteladan Bung Hatta
ist
Prof. Dr. H. Jalaluddin

Negarawan yang Arif

Selama tahun-tahun 1955-1965 amat banyak peristiwa yang terjadi, yang mendapat penilaian berlainan antara kedua anggota Dwitunggal, Soekarno dan Hatta.

Perkembangan-perkembangan akhirnya mendorong Bung Hatta memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, yang dijabatnya sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Waktu mengundurkan diri dia mengatakan hendak memberi fair chance kepada Soekarno untuk membuktikan dia dapat membawa Republik Indonesia, bangsa dan masyarakat Indonesia men capai kemajuan.

Meskipun Bung Hatta telah jadi warganegara biasa kembali, akan tetapi perhatiannya dan rasa tanggungjawabnya terhadap negara dan bangsa Indonesia, serta terhadap nasib rakyat kecil Indonesia sama sekali tidak berkurang dari waktu dia aktif menjabat Wakil Presiden (Oet Jong Tjioe, 1982).

Secara periodik Mochtar Lubis menggambarkan kondisi perolitikan di Indonesia, yakni tahun 1957 sebagai "Awan Gelap Berarak di Langit" dan "Awan Bertambah Gelap".

Tahun 1958-1959 "Badai Mengamuk."

Tahun 1960-1961 "Fithan dan Tangkap".

Tahun 1963 "Arus Bencana Tak Dapat Ditahan."

Tahun 1964 "Berpacu ke Pinggir Jurang Kebinasaan,", dan tahun 1965 "Jurang Menganga Menanti."

Sebagai negarawan sejati, Bung Hatta sama sekali tidak membiarkan kondisi bangsanya yang kian memperihatinkan itu.

Walaupun beliau sudah berada di luar lingkungan kekuasaan, serta berstatus sebagai warganegara biasa, tetapi secara pribadi Bung Hatta tidak bisa berdiam diri "Berlepas tangan dari tanggungjawab. Bung Hatta
dengan penuh kearifan lebih memilih cara yang tidak bakal menimbul gejolak dalam masyarakat bangsa.

Bung Hatta mengirim surat secara pribadi ke Presiden Soekarno.

Selama periode itu, Bung Hatta telah mengirimkan sekitar sepuluh pucuk surat masing- masing tertanggal 27 Februari 1957, 12 September 1957, 2 September 1958, 5 September 1959, 17 Juni 1963, 24 Juni 1983, 23 Juni 1964, dan terakhir pada tanggal 1 Desember 1965 (Mochtar Lubis, 1988).

Adapun surat pertama, cukup panjang.

Halaman
1234
Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved