Integritas KPU dan Bawaslu
Integritas Komisioner Penyelenggara Sukses Tidaknya Pemilu
Pemilihan umum merupakan peristiwa politik yang sangat penting dan trategis di negara demokrasi. Sebab, jadi penentu proses pergantian pejabat
Di Sumatera Selatan (Sumsel) pun sejak KPU pertama kali dibentuk (2003-2008) komisioner KPU baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak bebas dari kasus pelanggaran etik dan hukum.
Kasus yang paling baru berkaitan dengan pilkada serentak 2018 ini adalah pemeriksaan oleh DKPP terhadap KPU Kota Palembang dan Kabupaten Lahat.
Menurut analisis Direktur Eksekutif Puskapol FISIP UI, dalam acara seminar publik "Mendorong Etika Kemandirian Penyelenggara Pemilu: Refleksi Peran DKPP Periode 2012-2017" di Depok (19/5/20-17), ada 238 sanksi yang ditujukan kepada anggota KPU kabupaten/kota.
Sementara itu, sanksi pada anggota KPU RI hanya ada satu; sanksi pada KPU Provinsi ada sembilan; sanksi pada PPK sebanyak 28; sanksi pada PPS sebanyak sembilan; sanksi pada KPPS sebanyak satu; sanksi pada Bawaslu provinsi sebanyak 3; sanksi pada Panwaslu kabupaten/kota sebanyak 71; serta sanksi pada Panwaslu kecamatan sebanyak 19 (rumahpemilu.org).
Data tersebut di atas tampak jelas menunjukkan bahwa tidak ada tingkatan penyelenggara pemilu yang bebas dari pelanggaran.
Namun, ternyata, diantara tingkatan penyelenggara pemilu yang paling banyak melakukan pelanggaran dan mendapatkan sanksi hukuman dari DKPP adalah komisisoner KPU kabupaten/kota. Mengapa hal ini bisa terjadi?.
Ada beberapa kemungkinan penyebab yang bisa didkemukakan di sini.
Pertama, jumlah anggota atau komisioner KPU kabupaten/kota paling banyak dibandingkan anggota KPU provinsi.
Dengan jumlah yang banyak, maka kemungkinan melakukan tindak pelanggaran juga lebih banyak.
Kedua, dari sisi kualitas dan kapasitas diri, maka komisioner KPU kabupaten/kota mungkin relatif belum sebaik komisioner KPU provinsi dan nasional.
Ketiga, KPU kabupaten/kota yang paling banyak mengurusi proses pemilu, misalnya dalam pileg, harus mengurusi untuk DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR dan DPD sehingga banyak pihak yang berkepentingan dan berinterkasi dengan komisioner KPU kabupaten kota.
Demikian juga halnya dalam pilkada serentak, Keemp;at, KPU kabupaten/kota harus mengurusi proses pilkada gubernur dan bupati/walikota sehingga pihak-pihak yang berkepentingan akan banyak yang berkomunikasi dan berinteraksi dengan intensitas dan frekuensi yang relatif cukup tinggi dengan KPU kabupaten/kota.
Kelima, rekapitulasi suara di tingkat KPU kabupaten/kota inilah perolehan suara baik pilpres, pileg, pilgub dan pilbup/pilwako sudah bisa diintip dan diduga hasil akhirnya sehigga mereka yang berkepentingan mau berbuat curang mulai gerilya dan berusaha melakukan komunikasi dan
pendekatan kepada komisioner KPU kabupaten/kota.
Berdasarkan kasus yang ditangani DKPP, pelanggaran yang umumnya dilakukan oleh komisisoner penyelenggara pemilu adalah keterpihakan alias tidak netral.
Keterpihakan kepada pasangan calon tertentu atau peserta pemilu atau kepada pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam pemilu menjadikan nilai kemandirian dan netralitas penyelenggara pemilu tidak ada artinya sama sekali.