Pribumi
Dialog Identitas Ala Anies Baswedan
Usainya hiruk pikuk politik di DKI Jakarta sejak awal 2017, semestinya berakhir di saat Gubernur dan Wakilnya mengucapkan sumpah janji
Kita bisa saksikan beberapa partai pengusung saat pilkada berlangsung elite partai politik tidak lagi mengindahkan identitas, nilai, dan makna politik bahkan tidak sungkan untuk menabrak kaidah organisasi partainya sendiri.
Kondisi inilah secara langsung semakin mempemudah para aktor melanjutkan agendanya terhadap masyarakat Indonesia.
Kembali kita diingatkan pada kata "pribumi", saya sangat sependapat dengan Syahganda Nainggolan, yang menyatakan bahwa pidato Anies, telah menempatkan kembali visi kebangsaan, kedaulatan dan sekaligus keadilan, sebuah visi yang selama ini hilang selama rezim Jokowi berkuasa.
Maka yang terlihat saat ini skizofrenia politik yang dilakukan aktor politik tengah mengalami suatu kegalauan dan kekhawatiran di antara mereka sendiri.
Anies sangat menyadarkan kita, dengan kata pribuminya telah kembali menempatkan pribumi sebagai identitas yang telah dilupakan.
Identitas yang semestinya selalu dijaga dalam bernegara.
Oligarki Kebangsaan
Kata "pribumi" yang telah menimbulkan kontroversial di tengah masyarakat seakan belum lengkap kalau kita tidak membaca teks secara keseluruhan isi pidato Anies Baswedan.
Kita hanya meributkan kata "pribumi". Kalau kita baca secara utuh, dalam Pidato Anies, mengajak kita bangsa Indonesia untuk membangun sebuah oligarki baru.
Oligarki yang berbeda dengan istilah yang dikemukakan oleh Winters, oligarki yang dimaksud oleh Winters adalah kekuasaan politik hanya dijalankan oleh kelompok kecil masyarakat dan teristimewa.
Tapi oligarki yang perlu dibangun adalah oligarki kebangsaan.
Jelas dalam teks pidatonya, Anies menuliskan beberapa istilah-istilah dari daerah di Indonesia.
Ini menunjukkan Indonesia kaya akan budaya dan bangsa.
Oligarki kebangsaan inilah yang kemudian semestinya dapat dilihat secara utuh, bagaimana seorang Anies menyakatan pepatah Batak "Holongmanjalakholong, holongmanjalakdomu", kemudian dalam pepatah Aceh "cilaka rumah tanpa atap, cilaka kampung tanpa guyub" bahkan pepatah orang Minang pun tidak luput dari pidatonya Anies yang menunjukan musyawarah diutaman untuk menghasilkan kesepakatan dan kesepahaman "Tuah Sakato".
Belum lagi bahasa Minahasa yang "salapiksakaguringan, sabantalsakalanggulu" satu tikar tempat tidur, satu bantal penyanggah leher.
Dengan demikian Indonesia yang terdiri dari beragam bangsa memerlukan langkah politik untuk membangun suatu oligarki kebangsaan.
Oligarki yang menempatkan pribumi Indonesia sebagai pemegang kendali kekuasaan negara, agar cita-cita bangsa dan tujuan hidup bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.