Pribumi

Dialog Identitas Ala Anies Baswedan

Usainya hiruk pikuk politik di DKI Jakarta sejak awal 2017, semestinya berakhir di saat Gubernur dan Wakilnya mengucapkan sumpah janji

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Dialog  Identitas Ala Anies Baswedan
ist
Ahmad Yani

Dialog Identitas Ala Anies Baswedan

OLEH : Ahmad Yani 

Penulis : Anggota DPR RI 2009-2014, Founder Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa, Kandidat Doktotal Ilmu Hukum Universitas Padjajaran.

Usainya hiruk pikuk politik di DKI Jakarta sejak awal 2017, semestinya berakhir di saat Gubernur dan Wakilnya mengucapkan sumpah janji sebelum menjalankan amanah yang telah diberikan untuk lima tahun ke depan.

Namun realitas yang terjadi justru sebaliknya, aroma untuk mempersiapkan langkah politik menuju 2019 semakin kental, cukup beralasan ketika SBY mengatakan bahwa Pilkada DKI 2017 syarat dengan rasa pemilihan presiden.

Yang menjadi pertanyaan, apa benar pasca Pilkada 2017 polarisasi yang terjadi ketika tahapan pemilihan berlangsung akan mempengaruhi kontestasi pemilu 2019 sehingga menimbulkan reaksi yang semestinya tidak dilakukan?

Setidaknya terdapat dua jawaban dari kelompok berbeda, satu kelompok masyarakat akan mengatakan, bahwa kontestasi Pilkada 2017 tidak akan mempengaruhi kontestasi untuk 2019.

Pemikiran tersebut sangatlah wajar, jika diutarakan oleh mereka yang mengusung atau
mendukung incumbent dalam Pilkada, atau hanya bentuk paranoid suatu kelompok tertentu yang memiliki kekhawatiran jika isu-isu selama Pilkada akan kembali digoreng dan berdampak pada perolehan suara mereka.

Pada sudut berbeda, untuk mereka yang saat ini diselimuti rasa syukur atas kemenangan pasca dilantiknya Anies-Sandi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur (16 Oktober 2017).

Sebagai orang beriman, keberhasilan merebut Kursi DKI 1 merupakan turning poin untuk meningkatkan rasa syukurnya, bahkan dalam Islam, hari ini harus lebih baik dari hari kemaren.

Cukup beralasan jika keimanan itu semakin kuat untuk memasuki langkah selanjutnya yaitu memenangkan Pemilu 2019.

Terlepas dari agenda politik nasional 2019, pidato yang memunculkan frase "pribumi" ternyata menimbulkan reaksi berlebihan yang sebenarnya menunjukkan satu kebodohan dan kekhawatiran kelompok tertentu.

Semestinya mereka paham, delik sejarah penggunaan frase "pribumi" sudah tuntas bagi Indonesia ketika bangsa ini merdeka.

Sehingga bagi masyarakat Indonesia frase "pribumi" bukan hal baru, bukan juga frase yang menakutkan, akan tetapi jika ada satu pihak yang merasa terganggu berarti frase "pribumi" itu dimaknai sebagai bentuk "perlawan".

Dengan demikian kita sangat setuju ada kolonialisme di depan mata saat ini meskipun tidak menggunakan cara kontak senjata.

Meminjam pandangan Gramsci, yang mengatakan peperangan terhebat bukan lagi menggunakan kekuatan senjata, akan tetapi kekuatan bahasa dan penggunaan simbol lebih memiliki peranan sangat sentral ketimbang kekuatan senjata.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved