Pribumi
Dialog Identitas Ala Anies Baswedan
Usainya hiruk pikuk politik di DKI Jakarta sejak awal 2017, semestinya berakhir di saat Gubernur dan Wakilnya mengucapkan sumpah janji
Bahasa, meskipun satu kata, akan menciptakan simbol kekuatan yang dapat digunakan untuk mengintimidasi lawan secara terselubung.
Maka hal yang akan terjadi jika meminjam pendapat LouiAlthuser, penggunaan frase "pribumi" memenuhi prinsip hegemoni bagi pengguasa saat ini yang dapat digunakan untuk menetralisir dan selanjutnya membangun konsensus dengan pihak yang berbeda.
Kecerdasan seorang Anies memahami psikologi kekuasaan yang diturunkan pada konteks kekinian, di saat masyarakat Indonesia mengalami degradasi nilai, prinsip dan budaya asli bangsa Indonesia,
telah memperlihatkan adanya suatu kelompok elit politik yang ingin menciptakan transhegemoni di negeri ini.
Yaitu, fenomena peleburan prinsip, alat, bentuk nilai ke dalam budaya massa yang kemudian keduanya tidak ada lagi batas.
Pada konteks inilah, mereka menilai tidak perlu ada batasan antara pribumi dan non pribumi, melainkan sebagai warga negara Indonesia.
Akan tetapi kebatinan masyarakat Indonesia sangatlah berbeda, karena Indonesia hasil perjuangan, bukan berarti juga kita menolak transhegemoni.
Namun, kita juga harus membatasi bahkan tidak mengistimewakan.
Skizofrenia Politik
Kata "ribumi"belakangan ini memang sangat menarik perhatian, banyak ulasan dari berbagai tinjauan yang kembali membuka lembaran sejarah Indonesia kebelakang.
Anies Baswedan telah membukakan mata kita semua, membuat kita tercenggang, seakan kita lupa siapa akan diri kita sebenarnya selama ini.
Kita adalah pribumi, owner terbesar bangsa ini, pemiliki kedaulatan, pemegang saham bahkan
darah kader bangsa membanjiri untuk satu kata merdeka.
Untuk mereka yang masih mempersoalkan kata pribumi sebaiknya kembali pada jatiditi kita sebagai bangsa Indonesia.
Babak baru demokrasi Indonesia sejak tahun 1998, sangatlah beralasan, bahwa demokrasi merupakan khayalan kebodohan.
Demokrasi kita secara tidak sadar telah membawa anak bangsa pada sebuah khayalan kebodohan, khayalan yang telah melupakan identitas bangsa ini sebenarnya, sehingga antar-anak bangsa saling berhadapan tanpa rasa malu, tidak ada lagi identitas, nilai dan makna politik Indonesia dikedepankan.
Inilah yang memang diinginkan oleh sekelompok elite yang ingin menguasai Indonesia secara perlahan, aktor yang memainkan peran atas kondisi Indonesia saat ini sangat memahami psikologis, sosial, budaya, pendidikan dan geopolitik Indonesia.
Secara konsepsional, aktor politik telah berhasil menerapkan konsep skizofrenia politiknya yaitu dengan membelah diri yang terbelah untuk menciptakan kegalauan identitas, nilai dan makna
politik.
Konsep ini sangat didukung dengan sikap beberapa elite partai politik yang melakukan perselingkuhan politik karena disebabkan longgar atau lenturnya peraturan.