Opini
Perempuan: Separuh Nafas Ekonomi Bangsa
R.A. Kartini berpesan, habis gelap terbitlah terang. Kini, terang itu adalah kesetaraan yang nyata: kesempatan, penghargaan, dan upah yang adil.
Peningkatan ini menandakan adanya kemajuan, meskipun masih menyisakan celah yang perlu ditutup untuk mencapai kesetaraan yang lebih utuh.
Mengapa kesenjangan ini terjadi? Ada banyak faktor yang saling bertaut.
Pertama, perempuan lebih sering memilih pekerjaan paruh waktu atau fleksibel demi menyeimbangkan peran ganda sebagai ibu, istri, sekaligus pekerja karir. Konsekuensinya, mereka kerap dianggap kurang produktif dibanding laki-laki.
Kedua, stereotip sosial yang melekat masih menempatkan perempuan pada sektor-sektor tertentu, seperti pekerjaan administrasi, pendidikan anak usia dini, atau layanan rumah tangga, yang secara struktural memiliki rata-rata upah lebih rendah.
Selain itu, ketidaksetaraan juga dipengaruhi keterbatasan akses terhadap pelatihan, kesempatan promosi, serta jabatan strategis. Tidak sedikit perusahaan yang masih ragu menempatkan perempuan di posisi kepemimpinan dengan alasan potensi cuti melahirkan atau tanggung jawab keluarga.
Faktor-faktor ini membentuk ketimpangan struktural yang sulit ditembus tanpa intervensi kebijakan yang berpihak.
Dampak ketimpangan ini tidak hanya berhenti pada perempuan pekerja, tetapi merembet hingga ke rumah tangga dan masyarakat. Upah yang lebih rendah berarti daya beli perempuan berkurang, kemampuan menabung lebih kecil, dan kesempatan berinvestasi untuk pendidikan anak terbatas.
Padahal, banyak penelitian menunjukkan bahwa ketika perempuan memiliki pendapatan yang layak, manfaatnya langsung dirasakan keluarga: gizi anak membaik, tingkat pendidikan lebih tinggi, hingga kualitas hidup keluarga meningkat.
Baca juga: Ingin Bongkar Kasus Korupsi di Wilayah Sumsel, Oknum PNS Way Kanan Lampung Jadi Jaksa Gadungan
Karena itu, sudah saatnya pemerintah dan dunia usaha bergandeng tangan. Perempuan butuh kepastian upah yang adil, kesempatan berkembang, dan dukungan di tempat kerja. Hal-hal sederhana seperti ruang laktasi, jam kerja yang lebih fleksibel, atau program pelatihan bisa menjadi langkah nyata untuk meringankan beban.
Dengan begitu, perempuan bisa bekerja lebih tenang tanpa harus meninggalkan peran pentingnya di keluarga.
Namun, perjuangan menuju kesetaraan upah tidak bisa hanya dibebankan pada perempuan itu sendiri. Laki-laki juga memegang peran penting dalam mendorong perubahan. Dukungan dari pasangan, keluarga, dan lingkungan kerja dapat membantu perempuan lebih percaya diri meniti karier.
Ketika laki-laki ikut serta dalam pembagian peran domestik, maka beban ganda yang selama ini dipikul perempuan akan semakin ringan. Kesadaran kolektif inilah yang akan mempercepat lahirnya budaya kerja yang inklusif.
Pada akhirnya, kesenjangan upah bukan hanya isu ekonomi, melainkan juga isu moral dan sosial. Kesetaraan gaji akan menciptakan ekosistem kerja yang lebih sehat, mengurangi diskriminasi, serta menumbuhkan rasa keadilan.
Lebih dari itu, memberikan upah yang setara berarti mengakui nilai dan jerih payah perempuan sebagai bagian integral dari kemajuan bangsa. Indonesia hanya bisa melangkah maju dengan kokoh bila seluruh warganya, baik laki-laki maupun perempuan, berdiri di atas pijakan yang sama.
Meski berbagai keterbatasan menghalangi, perempuan Indonesia tetap menunjukkan ketangguhan. Mereka tidak berhenti bekerja, belajar, dan tumbuh. Ada guru yang mengajar dengan penuh dedikasi meskipun harus pulang larut dan tetap mengurus rumah tangga.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.