Berita Palembang

Duduk Perkara Kasus Dugaan Bullying di SDN 133 Palembang

Viral dugaan kasus bullying seorang siswa SDN 133 Palembang yang dilakukan kakak kelasnya.

Editor: Yandi Triansyah
SRIPOKU.COM / Hartati
KASUS BULLYING - Kondisi SDN 133 Palembang yang viral kasus dugaan bullying di sekolah tersebut, Senin (17/11/2025) 
Ringkasan Berita:
  • Kasus bullying siswa SDN 133 Palembang viral di media sosial. 
  • Pihak sekolah membantah kasus bully tersebut terjadi selama setahun. 
  • Kasus tersebut berawal saat siswa korban berinisial A merobek kertas ujian dari siswa lainnya H. 
  • H yang tidak terima spontan menyebut korban kanker botak hingga panggilan itu menyebar ke siswa lainnya. 
  • Kasus tersebut sudah dimediasi oleh sekolah dan orangtua juga minta maaf. Namun orangtua dan guru kaget setelah kasus itu kembali viral. 
 

 

SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Viral dugaan kasus bullying seorang siswa SDN 133 Palembang yang dilakukan kakak kelasnya.

Kasus ini viral setelah Juwita, ibu siswa berinisial A yang menjadi korban berani mengungkapkan ke publik. 

Menanggapi viralnya kasus itu, guru dan sekolah buka suara mengenai kronologis lengkapnya.

Hilwa, wali murid kelas 5A atau juga wali murid A mengatakan A adalah siswa pindahan dari salah satu sekolah di Sekip dan masuk SDN 133 pertengahan semester ganjil tahun lalu.

Baca juga: Ibu di Palembang Ini Sedih Anaknya Trauma tak Mau Lagi Sekolah, Setahun Lebih Kena Bully Kakak Kelas

Tidak benar jika A dibully selama satu tahun ini atau sejak duduk di bangku kelas 4 SD.

Dulu awalnya memang sempat ada perselisihan antara A dan H yakni siswa yang pertama kali melontarkan pernyataan kanker botak.

Kejadian itu sudah lama yakni saat ujian semester 2 kelas 4.

Saat itu A ujian dan duduk di meja yang sama dengan H dan A menarik kertas ujian H hingga robek.

Namun tindakan A kala itu yang merusak kertas ujian H justru dibela guru, dinilai membangkitkan rasa kesal H sehingga terlontar lah pernyataan kanker botak secara spontan.

Kemudian karena mendengar ucapan H kemudian, teman lainnya yakni siswa kelas 6 lainnya juga mengucapkan hal yang sama yakni kanker botak.

Sebab seharusnya H lah yang marah karena dia yang dirugikan karena kertas ujiannya robek oleh ulah A tapi justru dia yang ditegur guru.

"Itu hanya bercandaan siswa saja murni hanya ejekan seperti dua anak bermain atau saat kita masih kecil dulu tanpa motif perundungan," kata Hilwa.

Hilwa sempat bingung karena kasus itu sudah lama atau tahun lalu dan dianggap selesai karena tidak ada lagi laporan dari A, sebab A ini adalah salah satu anak yang aktif, jika diganggu dia akan melapor ke guru baik itu guru wali kelas maupun guru mengajar lainnya.

Karena merasa tidak ada laporan dari A, guru menilai tidak ada kendala  apapun lagi.

Tapi rupanya pada Jumat 7 November, Juwita, ibu A datang ke sekolah ingin menghadap kepala sekolah dan menceritakan bahwa A dibully verbal oleh kakak kelasnya.

Ana wali murid kelas 6 mengatakan, setelah guru mendengarkan cerita Juwita, kemudian dipanggil Ap dan H yang disebut sebagai pelaku pembully.

Dari hasil penelusuran guru, ternyata yang membully A itu ada tujuh orang siswa kelas enam.

Kemudian Sabtu 8 November, sekolah melakukan mediasi dan menjamin tidak akan ada lagi pembulllyan tersebut sehingga A bisa masuk sekolah lagi seperti biasanya.

Kemudian kami minta anak-anak yang membully membuat pernyataan tertulis dengan materai tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut.

Tapi dari hasil mediasi itu rupanya Juwita hanya memaafkan H karena orangtuanya.

Saat salaman usai membuat surat pernyataan itu rupanya orangtua H sempat menyelipkan sejumlah uang kepada Juwita sebagai bentuk permohonan maaf.

Namun ibu Ap tidak dimaafkan meski sudah membuat surat surat pernyataan serupa dan berani menjamin anaknya tidak akan membully lagi A.

"Mediasi kala itu hanya H yang dimaafkan oleh Juwita," ujar Ana.

Dari mediasi itu juga, Ana menyebut bahwa sekolah mencari solusi dengan akan memenuhi permintaan Juwita.

Namun Juwita hanya menjawab apa yang diinginkan A, dan kala itu A hanya menjawab agar tidak dibully lagi.

Kemudian guru juga menyanggupi dan menjamin agar tidak ada kasus bully lagi di sekolah itu baik pada A maupun ke murid lainnya.

Guru dan pihak sekolah mengaku menyayangkan kasus ini menjadi viral, karena berdasarkan hasil mediasi terakhir, mereka menduga Juwita telah menyetujui bahwa persoalan selesai.

Saat mediasi berlangsung, sekolah bahkan telah meminta Juwita untuk mengutarakan keinginannya secara terbuka.

Namun saat itu Juwita menjawab bahwa dirinya hanya menginginkan apa yang diinginkan A.

Sementara A menyatakan bahwa ia ingin tetap sekolah dan tidak dibully lagi dan sekolah sudah memberikan jaminan bahwa tidak akan ada lagi tindakan pembulian terhadap A maupun siswa lainnya.

Sekolah menduga persoalan telah selesai sebab Senin (10/11/2025) A tetap sekolah seperti biasa bahkan menjadi petugas upacara yang membacakan teks Pancasila.

Petugas upacara itu sendiri bukan ditunjuk guru tapi inisiatif siswa itu sendiri.

"Saat itu tidak ada tanda A trauma sebab dia ceria dan menjalankan tugas sebagai petugas upacara dengan lantang dan tanpa kendala, jauh tapi penyataan yang dibuat orangtuanya bahwa A trauma," ujar Ana.

Sekolah Tawarkan Konsultasi ke Psikolog Atasi Trauma

Ana wali murid kelas 6 mengatakan sekolah juga sempat memberikan opsi agar A dibawa konsultasi ke psikolog karena disebut trauma efek kena bully.

Namun niat sekolah itu tidak ditanggapi oleh Juwita karena dia hanya diam saja saat sekolah memberikan opsi itu.

Namun demikian, kasus ini kembali melebar setelah Juwita membagikan kronologi versinya sendiri melalui sebuah akun media sosial, yang kemudian menjadi viral dan ramai diberitakan media massa.

Dalam pernyataan yang Juwita minta keadilan agar siswa yang membuka anaknya diberi hukuman setimpal agar tahu efek bully bisa membuat anak trauma dan enggan belajar.

"Bahkan Dinas Sosial langsung turun mengecek ke rumah A untuk memastikan apakah benar jadi korban bully atau tidak," tambah Ana.

Namun hingga kini Dinas Sosial batal datang ke sekolah untuk konfirmasi ulang mengenai kasus A ini sehingga sekolah juga menunggu saja kelanjutan kasusnya.

Setelah A sempat masuk sekolah dan jadi petugas upacara pada Senin (10/11/2025), esok harinya A tidak sekolah dan sejumlah guru menjenguk langsung A ke rumahnya pada Selasa (12/11/2025).

Saat itu kondisi A memang panas namun suhunya masih termasuk normal bukan demam tinggi.

Saat ditemui sekolah minta agar A menuliskan kronologis lengkap kasus yang menimpa A biar sekolah tahu.

Kemudian A menulis lah mengenai apa yang menimpanya dan guru berinisiatif memberikan bantuan pendamping psikolog ke siswa tersebut.

Orangtua Minta Maaf langsung ke rumah

Ita, orangtua Ap mengakui anaknya itu melontarkan kata kanker botak, tapi itu hanya sebatas candaan saja.

Dia juga sudah menegur anaknya agar tidak lagi mengatakan hal serupa dan berjanji menjamin anaknya tidak akan lagi mengatakan hal serupa.

Merasa salah, Ita kemudian juga meminta agar Ap membuat surat pernyataan bersalah dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Tapi surat pernyataan itu ditolak Juwita dengan tegas tanpa alasan.

Karena anaknya tidak dimanfaatkan oleh Juwita kemudian ita mendatangi langsung rumah A untuk menjalin silaturahmi.

Saat itu, Ita bersama suami dan anaknya Ap juga datang dengan membawa buah tangan berupa roti, biskuit dan susu.

Itu menyebut A saat itu ceria dan bermain bersama Ap dan Juwita juga menyambut baik niat silaturahmi.

"Bahkan saat pulang kami juga berikan yang Rp 400 ribu dan diterima dengan baik, tidak menduga kemudian mendadak kasus ini viral di media sosial dan media massa," kata Ita.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved